ASEAN Open Sky Policy, malapetaka bagi
Maskapai Penerbangan Nasional
“Istilah yang tepat bukan ASEAN Open Sky tetapi Indonesia Open Sky”

ASEAN Open Sky Policy merupakan kebijakan untuk membuka wilayah udara antar sesama anggota negara ASEAN. Hal ini tidak lain merupakan bentuk liberalisasi angkutan udara yang telah menjadi komitmen kepala negara masing-masing negara anggota dalam Bali Concord II yang dideklarasikan pada KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) ASEAN tahun 2003. Dalam Bali Concord II disebutkan cita-cita terbentuknya ASEAN Economic Comunity 2020 dengan angkutan udara menjadi salah satu dari 12 sektor yang diintegrasikan. Kekuatan dari negara-negara ASEAN ini harus segera dipersatukan, mencontoh apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dengan Uni Eropa-nya dalam uapaynya menghadapi tantangan dan persaingan dari Cina dan India.

Dalam dunia penerbangan, tanpa memperhitungkan dampak yang akan terjadi secara cermat, Indonesia sepertinya dengan sukarela mengikuti tahapan untuk menuju ke arah liberalisasi angkutan udara. Pada tahun 2008 ketentuan pembatasan untuk penerbangan antar ibukota negara ASEAN dihapus. Selanjutnya hak angkut kargo pada tahun 2009 dan diikuti hak angkut penumpang pada tahun 2010, dan sebagai puncaknya adalah pada ASEAN Single Aviation Market atau ASEAN Open Sky Policy pada tahun 2015 yang tertuang dalam The ASEAN Air Transport Working Group: “The Roadmap for the Integration of ASEAN: Competitive Air Services Policy”.

Menuju Liberalisasi

Hal tersebut seharusnya menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia, karena situasi dan kondisi Indonesia berbeda dengan Negara-negara ASEAN yang lain. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, luas ruang udara Indonesia adalah menduduki tempat pertama yaitu 81% dari total ruang udara negara negara ASEAN, jumlah penumpang domestik rata-rata setiap tahunnya mencapai lebih dari 100 juta. Beberapa negara sudah sangat maju, sedangkan kita masih dalam tahap membangun. Dalam kondisi seperti itu kerjasama akan menjadi timpang dan akan berakibat “pihak yang kuat” akan memangsa “pihak yang lemah”.
Singapura misalnya, kita semua telah memahami harus benar-benar diwaspadai karena akan segera menguasai pasar jika ASEAN Open Sky terwujud. Perdana Menteri Singapura dalam berbagai kesempatan selalu menganjurkan untuk mempercepat proses tersebut, dengan dalih untuk meningkatkan perkembangan angkutan udara di regional Asia Tenggara, “karena dengan percepatan liberalisasi penerbangan akan menunjukan pada dunia bahwa ASEAN dapat beraksi cepat dalam mewujudkan rencana menjadi tindakan yang konkrit”. Untuk diketahui luas wilayah udara Singapura tidak mencapai 1% dibandingkan dengan total luas wilayah udara ASEAN.

Tidak mengherankan Singapura sangat bersemangat dalam ASEAN Open Sky, karena dari sisi pengalaman Singapura telah lama melakukan open sky yaitu sejak tahun 1960-an. Pada waktu itu maskapai asal Eropa, Asia, dan bahkan Amerika Serikat bebas terbang dari dan ke Singapura. Hal tersebut akan dengan mudah dapat diterima akal sehat, karena Singapura adalah negeri kecil yang memiliki luas kurang dari provinsi Jawa Barat, tidak mungkin mengandalkan pasar domestik saja. Untuk itulah Singapura membangun Changi menjadi bandara berstandar internasional dan bercita-cita menjadikannya hub (bandara poros/pusat) dan negara-negara anggota ASEAN sebagai spoke-nya. Demikian juga untuk layanan Air Traffic Controller (ATC), untuk diketahui Changi International Airport sanggup melayani lalu lintas udara di seluruh wilayah Asia Tenggara termasuk di wilayah udara (kedaulatan) Indonesia.

Dari sisi maskapai penerbangan, Singapore Airlines (SIA) dengan keunggulan kualitas dan kuantitas armadanya, dapat mewujudkan konsep reciprocal dengan baik. Perlu kiranya dipahamai bahwa SIA dan juga anak perusahaannya Silk Air merupakan flag carrier, didukung secara langsung oleh pemerintah Singapura dan saat ini telah menjelma menjadi macan Asia.

Disamping itu Air Asia yang merupakan Maskapai Penerbangan swasta asal Malaysia, yang memiliki bisnis jasa penerbangan murah (Low Cost Carrier/LCC) telah melakukan ekspansi ke Indonesia sebelum rencana tahap-tahapan ASEAN Open Sky dimulai. Konsep penerbangan bertiket murah dengan cepat mengambil hati konsumen di Indonesia. Asas cabotage yang diberlakukan di negara-negara ASEAN ternyata bisa diabaikan dengan menerapkan “Kecabangan perusahaan” di Indonesia. CEO Air Asia, terkenal dengan pernyataannya yang fulgar yaitu menantang, “Buang saja nasionalisme anda!”. Ekspansi fenomenal LCC Air Asia jelas berdampak buruk pada Maskapai Penerbangan Nasional. Karena yang terjadi adalah efek “positif” dari liberalisasi, yaitu konsumen punya kekuasaan untuk memilih dari berbagai pilihan yang tersedia.

Kesiapan Indonesia

Dengan adanya ASEAN Single Aviation Market, Indonesia adalah pihak yang dirugikan. “Singapura hanya punya 1 bandara, Malaysia punya 6 bandara, kita punya 26 bandara internasional,”. Hal ini berarti Indonesia memiliki pintu yang banyak untuk “dimasuki dengan mudah oleh pemain-pemain asing”. Untuk itu jumlah bandara seyogyanya dibatasi apalagi Maskapai Penerbangan Nasional pada kenyataannya belum atau tidak sekuat para pesaingnya.

Liberalisasi penerbangan ASEAN harus direalisasikan pada tahun 2015 atau sekarang ini. Terus terang Indonesia belum siap agtau teoatnya tidak akan siap. Perlu dipahami bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yang seharusnya adalah waktu bagi Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam arti membangun daya saing, justru menjadi kebalikannya, daya saing menurun bahkan beberapa perusahaan penerbangan nasional terpaksa gulung tikar. Pemerintah kurang memberikan bantuan bagi maskapai penerbangan nasional untuk membangun daya saing.

Sebelum mengikuti liberalisasi penerbangan, pemerintah seyogyanya membantu meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan penerbangan nasional disamping memberbaiki dan meningkatkan kemampuan Bandar-Bandar Udara dalam artian harus comply terhadap ketentuan ICAO. Namun berbagai permasalahan klasik belum dapat diatasi, muncul berbagai masalah-masalah baru yang sangat memberatkan Maskapai Penerbangan Nasional. Timbul pertanyaan apakah kebijaksanaan untuk mengikuti ASEAN Open Sky Policy telah benar-benar memperhatikan kepentingan nasional ???.

Keniscayaan

Adalah sebuah keniscayaan Open Sky ASEAN ini. Era keterbukaan dan liberalisasi mau tidak mau harus dilakukan. Agar Open Sky tidak menjadi sebuah ancaman, maka pemerintah Indonesia harus menjadi “wasit” dalam mengatur agar Open Sky tidak menjadi boomerang bagi kita, yaitu tidak mendatangkan keuntungan namun sebaliknya menimbulkan kerugian bagi Indonesia diberbagai bidang terutama mengancam “kehidupan” industri penerbangan nasional. Karena dalam kenyataannya, tidak ada satupun negara yang melakukan liberalisasi penerbangan tanpa campur tangan aktif pemerintah. Pemerintah dalam hal ini departemen/kementrian terkait harus merubah dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan regulasi agar betul-betul mampu meningkatkan daya saing industri penerbangan domestik yang bertujuan agar maskapai penerbangan nasional dapat memenangkan persaingan, dengan tetap berpegang pada keamanan dan keselamatan penerbangan.

Kesiapan Bandar Udara. Pembangunan Bandar Udara di Indonesia agar dapat menyaingi Changi sepertinya tidak mungkin dapat dilakukan dalam waktu singkat. Dalam rangking The World Airport Award yang dikeluarkan Skytrax, Changi menempati urutan ke-3, dan Singapura menghendaki Changi dapat menjadi hub ASEAN karena sudah sangat unggul baik dari sisi teknologi, profesionalisme, dan posisinya yang strategis. Dikaitkan degan kondisi tersebut, yang dapat kita lakukan dalam waktu dekat , adalah pembangunan Bandar-Bandar Udara di Indonesia diarahkan agar dapat berperan menjadi spoke, tapi spoke dalam kualitas yang mampu bersaing dengan Kuala Lumpur dan Bangkok Internasional Airport, terutama dalam hal comply terhadap ketentuan internasional yang berlaku. Dihadapkan dengan yang fakta terjadi akhir-akhir ini dalam pembangunan dan pengoperasian Bandara, timbul pertanyaan besar, mampukah kita ????.