Sector A Rans Charges

Route Air Navigation Service (Rans) Charge KAITANNYA DENGAN Sector “C”

 

 

Indonesiannews.co / Yohana Nency
Jakarta, 1 Juni 2108; pukul 00.00 wib

Adanya Minute of Discussion between CAA of Singapore and DGAC Indonesia on the collection of RANS Charges.  Meskipun perjanjian antara Indonesia dan Singapura tentang pengalihan batas FIR Jakarta dan Singapura belum mendapatkan pengesahan dari pihak ICAO, Indonesia dan Singapura sepakat untuk memberlakukan perjanjian berdasarkan semanga negara bertetangga, khususnya area sektor “A”  yang tidak ada kaitan dengan negara ke-tiga.

 

Secara rinci, sebagai berikut;

  1. Bahwa berdasarkan perjanjian yang belum berlaku, tanggal 22 Januari 1999 di Singapura telah ditanda tangani “Minute of Discussion between CAA of Singapore and DGAC Indonesia on the collection of RANS Charges”, yaitu kesepakatan tentang pelaksanaan pemungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan di Sektor area “A” oleh Singapura atas nama Indonesia, untuk selanjutnya dana yang terkumpul disetor kepada Indonesia setiap bulan yang masuk  PNBP. Pelaksanaan pemungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan telah berlangsung sejak Juni 1999.
  2. Hingga saat ini, Indonesia menerima US$ 5 juta/tahun khusus untuk sektor “A” (karena Sektor “B” dan “C” tidak dipungut RANS Charge). Masalah pada RANS Charge, adalah dengan adanya hasil audit yang dilakukan oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN) untuk periode tahun 2000-2004.  Bahwa Internal Control atas RANS Charge yang disetor oleh CAAS diperkirakan masih kurang memadai, karena jumlah yang diterima tidak dapat diketahui rinciannya, baik oleh pihak Kemenhub maupun TOPN.
  3. Dapat disimpulkan, bahwa; atas nama Indonesia, “Singapura telah memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan atau Rans Charges di wilayah udara yuridiksi Indonesia pada Sektor A, selanjutnya diserahkan ke pemerintah Indonesia.    Sedangkan untuk wilayah sektor B dan C tidak dikenai  RANS  Charge, dengan dalih : masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut dengan berbagai pihak salah satunya adalah dengan pihak Malaysia”, (namun untuk diketahui hal ini sudah berjalan puluhan tahun dan pembahasan belum juga tuntas, berapa kerugian yang diderita Indonesia selama ini  ????).
Catatan :   Di dalam sektor “ A”  terdapat enam rute penerbangan antara lain A 464, A576, B 470, sedangkan di dalam sektor “C” terdapat tujuh rute padat setiap bulannya dapat mencapai  lebih dari 5000 pergerakan pesawat komersial. Adapun rute yang terlibat di dalam ruang udara tingkat atas sebagai berikut : G580, N884, L625, M767, G334, M761 dan G220.  (Artinya; Indonesia dapat memperoleh PNBP yang lebih banyak daripada Sector A, namun  selama ini (23 tahun)  tidak ada pemasukan sama sekali dari Sector “C”.

 

Bahwa kondisi permasalahan ruang udara kedaulatan di Kawasan Corong Barat yaitu Selat Malaka, Kepulauan Riau dan Natuna memang cukup kompleks, antara lain disebabkan;

  1. UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan belum menentukan batas-batas wilayah  udara kedaulatan, dan juga belum ada Undang-Undang tentang Kedaulatan di Udara.
  2. Perjanjian antara RI dan Singapura tentang realignment  tahun 1995, sampai dengan saat ini belum berlaku, karena belum memenuhi ketentuan yang tercantum pada  Article 10 perjanjian re-alignment, (namun tetap diberlakukan).  Kondisi tersebut merugikan Indonesia juga meningkatkan bobot dan kualitas ancaman,
  3. Terdapat perbedaan persepsi antar Kementerian dan Lembaga terkait di Indonesia tentang permasalahan pengontrolan sebagian ruang udara kedaulatan tersebut. Sehingga upaya penyelesaian menjadi berlarut-larut dan hal ini merupakan “keuntungan” bagi pihak asing.
  4. Kegiatan interaksi dengan ICAO, tidak didukung dengan strategi yang tepat.   Tidak ada kejelasan keterlibatan peran Lembaga dan Kementerian terkait, serta tingkat  kompetensi SDM untuk berinteraksi dengan ICAO belum dipersiapkan dengan baik.
  5. Tidak adanya komitmen yang kuat dari pemerintah untuk penyelesaian pengontrolan ruang udara NKRI di Kawasan Kepulauan Natuna dan sekitarnya.
 

Untuk itu, disarankan agar permasalahan pengontrolan ruang udara di Kawasan Kepulauan Natuna dengan pihak Malaysia yang sudah berlangsung lama dan  merugikan Indonesia dan “diduga” ada upaya pembiaran.

Indonesia Aviation and Aerospace Watch, berharap Negara dapat segera menyelesaikan masalah kedaulatan di udara tersebut.
Upaya penyelesaian diharapkan dapat mendayagunakan momentum perubahan pemerintahan yang terjadi di Malaysia  sehubungan dengan telah diangkatnya pejabat Perdana Menteri Malaysia yang baru.

Jakarta 1 Juni 2018

INDONESIA AVIATION AND AEROSPACE WATCH  (IAAW)
VICE PRESIDENT

JUWONO KOLBIOEN
MARSEKAL PERTAMA TNI (PURN)

(YN / indonesiannews.co – Jakarta)