Masalah Produksi Dalam Negeri

Indonesiannews.co/Jakarta, 4 Maret 2017.  Mantan Komisaris PT DI periode : 2001-2006,  Marsekal Pertama (Purn.) H.Juwono Kolbioen sebagai Vice President IAAW (Indonesia Aviation and Aerospace Watch), beranggapan dalam pengertian “Phase Assembling” dengan “Re-Assembly” adalah suatu hal yang sangat jauh berbeda. “Berdasarkan pengalaman saya sebagai Mantan Komisaris PT.DI,  saya berpendapat  bahwa rakyat Indonesia harus mendapatkan informasi yang benar tentang kemampuan Indonesia dalam memproduksi pesawat terbang dan helikopter, janganlah rakyat dibohongi, sehubungan dengan adanya maksud dan tujuan tertentu untuk kepentingan sekelompok orang”, imbuh H.Juwono Kolbioen.
Dalam menjawab tulisan yang terdapat di :
https://babe.news/id-id/read/11150738/ksau-ingin-pt-dirgantara-indonesia-produksi-helikopter
Dengan inti tulisan sebagai berikut;  “Menurut KSAU, saat ada kontrak nantinya dengan Kementerian Pertahanan, pihaknya ingin agar PT.Dirgantara Indonesia dapat memproduksi helikopter yang memiliki kualifikasi sesuai dengan yang diinginkan TNI AU”.
Berbicara tentang PT.Dirgantara Indonesia dalam kemampuannya untuk memproduksi helikopter, saya menjadi bertanya-tanya apa batasan-batasan dan pengertian untuk kata “MEMPRODUKSI” yang di pahami oleh PT.Dirgantara Indonesia ???
Beberapa contoh, bahwa PT.Dirgantara Indonesia bukan memproduksi :
1. Jika dikaitkan dengan Helikopter Super Puma AS332, apakah dapat dapat dikategorikan hasil produksi dalam negeri?
Perlu diketahui yang mampu dilakukan oleh PT.Dirgantara Indonesia untuk Helikopter Super Puma AS332 , adalah  melakukan “PHASE ASSEMBLING MAYOR ASSY”,  yaitu;  dari komponen diproses menjadi bentuk untuk kemudian dilakukan “FINAL ASSY”.    Setelah selesai “FINAL ASSY”  barulah dilakukan “UJI TERBANG”.   Dalam perkembangannya PT.Dirgantara Indonesia sudah mendapatkan kepercayaan untuk “FULL MANUFACTURE”. Namun perlu diketahui hal tersebut dapat dilakukan pada waktu PT.Dirgantara Indonesia masih memiliki “LISENSI” untuk tipe AS-332C1 dan AS-332L1,  setelah lisensi itu habis masa berlakunya  pada tahun 2012 maka PT.Dirgantara Indonesia hanya dapat melakukan “Re-Assembly” saja.   Artinya seluruh pembuatan dilakukan di “Eurocopter Perancis”, setelah selesai dan “Uji Terbang”,  maka langkah selanjutnya dilakukan  “DIS-ASSEMBLY”  untuk kemudian dilakukan pengiriman ke PT.Dirgantara Indonesia (Negara RI).  Kemudian di PT.Dirgantara Indonesia dilakukan “RE-ASSEMBLY”.   Apakah dengan melakukan pekerjaan seperti ini,  dapat disebut bahwa PT.Dirgantara Indonesia telah memproduksi Helikopter Super Puma AS332   ???
2. Selanjutnya untuk Helikopter EC725 yang dibeli dari PT.Dirgantara Indonesia  pada  “RENSTRA” tahun 2009-2014.
Berkaitan dengan issue Helikopter EC725 yang dikatakan “dibuat” oleh PT.Dirgantara Indonesia,  kiranya diperlukan konfirmasi terhadap pemahaman produksi pesawat terbang.  Bahwa Pesawat terbang dan Helikopter  diproduksi secara masal (series),  oleh  “FABRIKAN” yang sudah mendapatkan  “PC”  (PRODUCTION CERTIFICATE).   Dikaitkan dengan EC725  apakah PT.Dirgantara Indonesia ,  sudah memiliki  “PRODUCTION CERTIFICATE” tersebut??? ,  Semua tentunya  tercantum dalam “CONTRACT PRODUCTION SHARING”.
Selanjutnya  melalui “CONTRACT PRODUCTION SHARING”  antara “TC/LICENSE HOLDER (EUROCOPTER)”  dengan “UNDER LICENSE HOLDER” (dalam hal ini adalah PT.DI),  dalam kontrak tersebut akan menjelaskan bagian-bagian Helikopter yang mana saja yang bisa diproduksi secara penuh oleh masing-masing pihak, termasuk kegiatan “FINAL ASSEMBLY”, “FLIGHT” “LINE ACTIVITY”, “CERTIFICATION”, “ROLL-OUT”, “FLIGHT TEST”, “CUSTOMER DELIVERY PROCESS”,  dsb.
Satu hal yang sangat penting  dan tidak boleh ditinggalkan adalah  “CONFORMITY PROCESS” atau “FIRST ARTICLE INSPECTION (FAI)”  dari setiap Single Part (DPM), Sub-Assy, Assy, Installation, sampai dengan menjadi pesawat terbang atau Helicopter secara utuh (class 1 product).
CONFORMITY INSPECTION, adalah; “kegiatan terpadu yang bertujuan  untuk mencocokkan   “As-Design”   v/s   “As-Planned”   v/s   “As-Built”   selama produksi berjalan sehingga setiap Single Part (DPM), Sub-Assy, Assy, Installation, akan mendapatkan “CERTIFICATE of CONFORMITY” (C of C) dari   “QC/QA”   dan  “DKPPU”,   dan dapat dinyatakan   “AIRWORTHY”,   dan setelah itu mass product baru bisa dilakukan,” tandas H.Juwono Kolbioen (Vice President of IAAW).
Marsekal Pertama (Purn) H.Juwono Kolbioen, menghimbau, sebaiknya ;   “Pernyataan Dirut PT.Dirgantara Indonesia yang mengatakan bahwa PT.Dirgantara Indonesia telah mencapai produksi  “EC725”  . Selayaknya hal ini harus didukung oleh pernyataan   “Dir. Quality Assurance   PT.Dirgantara Indonesia”.  dan juga dari   “DMIR  (Designated Manufacturing  Inspection Representative) DKPPU”,   “List dan Result  dari  First Aticle Inspection”   atau   “Conformity Inspection Status”.
Faktanya  “Helli EC725”   datang dalam bentuk CKD. (YN/JK)

wp_20161011_10_39_57_pro1