Kajian UU 1 tahun 2009; Kajian UU Penerbangan No.1 Tahun 2009, yang seharusnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Dikaitkan dengan :
1. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 20 Tahun 2009 tentang Sistem Manajemen Keselamatan Penerbangan (Safety Management System);
2. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 24 Tahun 2009 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139 (Civil Aviation Safety Regulation Part 139). Bahwa hampir 8 tahun Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 Tentang Penerbangan diberlakukan, namun carut marut dunia penerbangan yang kita alami dalam beberapa tahun terakhir ini sangat memprihatinkan. Mulai dari seringnya keterlambatan pesawat dalam pengoperasian, mogok terbang yang dilakukan pilot, padamnya listrik di bandara sehingga pengaturan lepas – landas dan mendaratnya pesawat dilakukan secara manual, Runway Excursion, sampai pada keterlibatan pilot yang menyalahgunakan narkotika dan zat adiktif. Belum lagi fasiltas bandara yang kurang memadai sampai pada banyak pilot yang menganggur sebagai akibat dipekerjakan ratusan pilot berkewarganegaraan asing di Indonesia. Semua ini akan bermuara pada keselamatan dan kenyamanan dalam penerbangan. Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat kecelakaan penerbangan di Indonesia cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara lain. Secara substansi, sebenarnya undang-undang penerbangan amat sangat lengkap bila dibandingkan dengan undang-undang pelayaran dan undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan raya. Bila dicermati lebih lanjut undang-undang penerbangan yang terdiri dari 26 Bab dan 466 Pasal menyisakan banyak penataan yang harus diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Berdasarkan undang-undang a quo, paling tidak ada 10 Peraturan Pemerintah dan 74 Peraturan Menteri yang harus disiapkan dalam rangka mengejawantahkan penataan dunia penerbangan di Indonesia. Adapun Peraturan Pemerintah yang harus dibuat adalah : 1. Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Udara (Pasal 9);
2. Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan Penerbangan {Pasal 12 ayat (2)};
3. Peraturan Pemerintah tentang Pesawat Udara Negara (Pasal 70);
4. Peraturan Pemerintah tentang Denda Administrasi Angkutan Udara Asing Tidak Berjadwal {Pasal 95 ayat (3)};
5. Peraturan Pemerintah tentang Angkutan Multimoda (Pasal 191);
6. Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan Bandar Udara (Pasal 216);
7. Peraturan Pemerintah tentang Tingkat Kebisingan, Pencemaran, Pemantauan Dan Pengelolaan Penggunaan Bersama Bandar Udara Dan Pangkalan Udara {Pasal 260 ayat (4)};
8. Peraturan Pemerintah tentang Pencarian Dan Pertolongan Kecelakaan Pesawat Udara (Pasal 356);
9. Peraturan Pemerintah tentang Investigasi Dan Penyelidikan Lanjutan Kecelakaan Pesawat Udara (Pasal 369);
10. Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan Industri Dan Pengembangan Teknologi Penerbangan (Pasal 374). Sedangkan berbagai materi dalam undang-undang a quo, yang harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri adalah sebanyak 74 item : 1. Pasal 11 ayat (4), Peraturan Menteri tentang Pembinaan Penerbangan;
2. Pasal 18, Peraturan Menteri tentang Rancang Bangun Pesawat;
3. Pasal 20, Peraturan Menteri tentang Sertifikasi Produksi Pesawat;
4. Pasal 23, Peraturan Menteri tentang Penyelenggaraan Pelayanan Umum Sertifikasi Produksi Pesawat;
5. Pasal 26, Peraturan Menteri tentang Batas Usia Pesawat;
6. Pasal 30, Peraturan Menteri tentang Tata Cara Prosedur Pendaftaran Dan Penghapusan Pesawat;
7. Pasal 33, Peraturan Menteri tentang Penyelenggaraan Pelayanan Umum Sertifikasi Pesawat;
8. Pasal 40, Peraturan Menteri tentang Kelaikan Udara Pesawat Dan Sanksi Administrasi;
9. Pasal 45, Peraturan Menteri tentang Sertifikasi Operator Pesawat Udara Dan Sanksi Adiministrasi;
10. Pasal 51, Peraturan Menteri tentang Tata Cara, Prosedur, Pemberian Sertifikasi Organisasi Pesawat Udara Dan Lisensi Ahli Perawatan Pesawat Udara Serta Sanksi Administrasi;
11. Pasal 57, Peraturan Menteri tentang Keselamatan, Keamanan, Kewenangan Serta Sanksi Adiminstrasi;
12. Pasal 61, Peraturan Menteri tentang Tata Cara Lisensi Sertifikat Kompetensi Personil;
13. Pasal 62 ayat (3), Peraturan Menteri tentang Asuransi Pesawat Udara Dan Sanksi Administrasi;
14. Pasal 63 ayat (6), Peraturan Menteri tentang Pengoperasian Pesawat Udara Sipil Dan Sanksi Administrasi;
15. Pasal 66, Peraturan Menteri tentang Lembaga Penyelenggaraan pelayanan Umum Sertifikasi Dan Lisensi Pesawat Udara;
16. Pasal 96, Peraturan Menteri tentang Angkutan Udara Niaga, Kerjasama Angkutan Udara Dan Sanksi Administrasi;
17. Pasal 100, Peraturan Menteri tentang Pelayanan Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal;
18. Pasal 103, Peraturan Menteri tentang Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga;
19. Pasal 107, Peraturan Menteri tentang Angkutan Udara Perintis;
20. Pasal 114, Peraturan Menteri tentang Memperoleh Izin Usaha Penerbangan Dan Pengangkatan Direksi;
21. Pasal 117, Peraturan Menteri tentang Izin Kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga;
22. Pasal 120, Peraturan Menteri tentang Kewajiban pemegang Izin Angkutan Udara;
23. Pasal 125, Peraturan Menteri tentang Prosedur Penetapan Dan Pemanfaatan Jaringan Serta Rute Penerbangan;
24. Pasal 130, Peraturan Menteri tentang Tarif Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dan Perintis;
25. Pasal 133, Peraturan Menteri tentang Izin Kegiatan Usaha Penunjang Angkutan Udara;
26. Pasal 135, Peraturan Menteri tentang Pelayanan Perlakuan Khusus Dan Fasilitas Penyandang Cacat, Lanjut Usia Dan Anak-Anak;
27. Pasal 137, Peraturan Menteri tentang Pengenaan Sanksi Badan Usaha Angkutan Udara Niaga;
28. Pasal 139, Peraturan Menteri tentang Angkuta Udara Khusus Dan Barang Berbahaya;
29. Pasal 149, Peraturan Menteri tentang Batas Waktu Keterlambatan Angkutan Udara;
30. Pasal 165 ayat (1), Peraturan Menteri tentang Ganti Rugi Kepada Penumpang Yang Meninggal, Cacat Permanen Dan Luka-Luka;
31. Pasal 168, Peraturan Menteri tentang Ganti Rugi Bagasi Tercatat Dan Kargo;
32. Pasal 170, Peraturan Menteri tentang Ganti Rugi Keterlambatan;
33. Pasal 184, Peraturan Menteri tentang Ganti Rugi Kepada Pihak Ketiga;
34. Pasal 186 ayat (2), Peraturan Menteri tentang Persyaratan Khusus Tanggung Jawab Pengangkut;
35. Pasal 200 ayat (4), Peraturan Menteri tentang Tatanan Kebandarudaraan;
36. Pasal 213, Peraturan Menteri tentang Penetapan Lokasi Bandar Udara;
37. Pasal 218, Peraturan Menteri tentang Keselamatan, Keamanan Dan Pelayanan Jasa Bandar Udara;
38. Pasal 221, Peraturan Menteri tentang Pengoperasian Fasilitas Bandar Udara;
39. Pasal 225, Peraturan Menteri tentang Lisensi Lembaga Pendidikan;
40. Pasal 226, Peraturan Menteri tentang Kegiatan Pemerintah Di Badar Udara;
41. Pasal 231, Peraturan Menteri tentang Otoritas Bandar Udara;
42. Pasal 238, Peraturan Menteri tentang Kegiatan Pengusahaan Di Bandar Udara;
43. Pasal 239 ayat (3), Peraturan Menteri tentang Pelayanan Dan Fasilitas Khusus Bandar Udara;
44. Pasal 242, Peraturan Menteri tentang Ganti Kerugian Bandar Udara;
45. Pasal 246, Peraturan Menteri tentang Tarif Jasa Kebandarudaraan;
46. Pasal 248, Peraturan Menteri tentang Pengawasan Dan Pengendalian Bandar Udara;
47. Pasal 252, Peraturan Menteri tentang Izin Pembangunan Dan Operasi Bandara Khusus;
48. Pasal 255, Peraturan Menteri tentang Pembangunan Pendaratan Dan Lepas Landas Helikopter;
49. Pasal 256, Peraturan Menteri tentang Bandar Udara Internasional;
50. Pasal 268, Peraturan Menteri tentang Tata Ruang Udara Nasional Dan Jalur Penerbangan;
51. Pasal 274, Peraturan Menteri tentang Pengalihan Jalur Penerbangan Oleh Lembaga Penyelenggaraan Navigasi;
52. Pasal 277, Peraturan Menteri tentang Sertifikasi Lembaga Penyelenggaran Pelayanan Navigasi Penerbangan;
53. Pasal 280, Peraturan Menteri tentang Pelayanan Lalulintas Penerbangan;
54. Pasal 283, Peraturan Menteri tentang Telekomunikasi Penerbangan;
55. Pasal 286, Peraturan Menteri tentang Pelayanan Informasi Aeronautika;
56. Pasal 290, Peraturan Menteri tentang Prosedur Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan;
57. Pasal 291, Peraturan Menteri tentang Prosedur Pelayanan Informasi Pencarian Dan Pertolongan;
58. Pasal 295, Peraturan Menteri tentang Lisensi Lembaga Pendidikan Pelayanan Navigasi;
59. Pasal 301, Peraturan Menteri tentang Prosedur Pemasangan, Pengoperasian, Pemeliharaan Dan Pelaksanaan Kalibrasi;
60. Pasal 304, Peraturan Menteri tentang Frekuensi radio Untuk Penerbangan;
61. Pasal 311, Peraturan Menteri tentang Program Keselamatan Penerbangan Nasional;
62. Pasal 312, Peraturan Menteri tentang Pengawasan Keselamatan Penerbangan Unit Kerja Dan Lembaga Penyelenggara;
63. Pasal 317, Peraturan Menteri tentang Sistem Manajemen Keselamatan Penyedia Jasa Penerbangan;
64. Pasal 322, Peraturan Menteri tentang Budaya Keselamatan Penerbangan;
65. Pasal 330, Peraturan Menteri tentang Tata Cara Prosedur Pembuatan Dan Pelaksanaan Program Keamanan Penerbangan;
66. Pasal 333, Peraturan Menteri tentang Pengawasan Keamanan Penerbangan;
67. Pasal 339, Peraturan Menteri tentang Tata Cara Prosedur Keamanan Operasi Bandar Udara;
68. Pasal 343, Peraturan Menteri tentang Tata Cara Prosedur Keamanan Operasi Pesawat Udara;
69. Pasal 380 ayat (2), Peraturan Menteri tentang Sanksi Administrasi Penyampaian Data Dan informasi;
70. Pasal 381 ayat (5), Peraturan Menteri tentang Penyediaan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Penerbangan;
71. Pasal 387, Peraturan Menteri tentang Penyelenggaran Pendidikan Dan Latihan di Bidang Penerbangan;
72. Pasal 392, Peraturan Menteri tentang Sertifikat Kompetensi, Lisensi Dan Penyusunan program Pelatihan;
73. Pasal 395 ayat (2), Peraturan Menteri tentang Pengaturan Hari Kerja Dan Pembatasan Jam kerja Personil Penerbangan;
74. Pasal 398, Peraturan Menteri tentang Peran Serta Masyarakat. Hak yang lebih utama adalah : 1. Pasal 64, Pembentukan Badan Layanan Umum dan Sertifikasi,
2. Pasal 364, Pembentukan Majelis Profesi Penerbangan. Pembentukan Terkait investigasi dan penyelidikan kecelakaan pesawat udara dilakukan oleh Komite Nasional yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Komite tersebut adalah institusi yang independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 2 (dua) isu penting terkait Komite Nasional : PERTAMA, Komite Nasional yang dimaksud bukanlah Komite Nasional Kecelakaan Transportasi atau KNKT, melainkan Komite Nasional Penerbangan. Hal ini didasarkan atas beberapa argumentasi: 1. Komite Nasional yang dibentuk adalah berdasarkan delegasi provisio dari undang-undang penerbangan. Secara mutatis mutandis, Komite Nasional yang dimaksud adalah Komite Nasional Penerbangan. 2. Tingkat keamanan, kenyamanan dan keselamatan penerbangan lebih ketat bila dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Ketiga, masalah keamanan, kenyamanan dan keselamatan penerbangan bersifat universal dan telah diatur dalam berbagai instrumen Internasional yang telah Diratifikasi. Keempat, dengan menggunakan metode interpretasi komparatif, keberadaan Komite Nasional Penerbangan juga terdapat di beberapa negara lainnya seperti Amerika dan komite tersebut berbeda dengan komite yang mengurus kecelakaan transportasi. KEDUA, Majelis Profesi Penerbangan yang dibentuk Komite Nasional Penerbangan : 1. Majelis Profesi Penerbangan terdiri dari unsur profesi, pemerintah dan masyarakat.
2. Mejelis Profesi Penerbangan terdiri dari sejumlah orang yang berkompeten di bidang hukum, pesawat udara, navigasi penerbangan, bandar udara, kedokteran, penerbangan dan penyidik pegawai negeri sipil.
3. Majelis Profesi Penerbangan bertugas menegakkan etika profesi dan kompetensi personil, melaksanakan mediasi antara penyedia jasa, personel dan pengguna jasa serta menafsirkan regulasi penerbangan.
4. Berdasarkan tugas Majelis Profesi Penerbangan, adapun fungsi Majelis adalah menegakkan etika profesi dan personil, menjadi mediator penyelesaian sengketa penerbangan dan menjadi penafsir penerapan regulasi penerbangan.
5. Ada hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang penerbangan termasuk penjelasannya yang berkaitan dengan Majelis Profesi Penerbangan yakni mengenai jumlah anggota majelis, masa jabatan majelis dan apakah sifat dari majelis tersebut permanen atau ad hoc. KNKT Hal terakhir yang perlu disampaikan bahwa Komite Nasional Penerbangan dan Majelis Profesi Penerbangan merupakan suatu hal yang urgensi dibentuk dalam rangka penataan dunia penerbangan di Indonesia. Lebih dari itu, baik Komite Nasional Penerbangan maupun Majelis Profesi Penerbangan dapat membantu Pemerintah dan Menteri Perhubungan untuk menyusun peraturan lebih lanjut sebagaimana yang diperintah oleh undang-undang penerbangan, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri. (JK / dkk / YN)