Indonesiannews.co/Jakarta, 5 Juni 2017. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, sudah selayaknya, Indonesia memegang peranan penting dalam pengaturan lalu lintas dan navigasi penerbangan udara. Akan tetapi yang terjadi tidak sesuai, Indonesia sampai detik ini belum bisa berdaulat penuh didalam wilayahnya sendiri, khususnya di wilayah ruang udara di atas kedaulatan Indonesia.
Di Banda Udara Changi Singapura, Pemandu yang bertugas di Changi, Singapura-lah yang berhak mengeluarkan izin take off dan landing di Batam, Tanjungpinang, dan Natuna, Kepulauan Riau yang jelas-jelas merupakan wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
seluruh pengawasan dan pengaturan lalu lintas udara di Batam, Tanjungpinang, dan Natuna, Kepulauan Riau – Indonesia dibawah pengawasan FIR Singapura. Untuk memperoleh izin keberangkatan dan pendaratan pesawat, pengelola Bandara Hang Nadim Batam mengajukan permohonan melalui “Approach Centre Unit (APP)” di Tanjungpinang. APP Tanjungpinang kemudian meneruskan permohonan itu kepada “Area Control Centre (ACC)” di Changi, Singapura. Apapun jawaban Singapura, baik “OK” maupun “tunggu sebentar”, disampaikan lagi melalui Tanjungpinang untuk diteruskan ke Hang Nadim, Batam.
Kondisi seperti itu dapat diibaratkan mengontrak ruangan dirumah sendiri. Itulah yang dirasakan oleh para penerbang Indonesia baik sipil maupun militer, yang beroperasi di Bandara Hang Nadim Batam. Sering terjadi jadwal rencana penerbangan harus tertunda beberapa menit karena menunggu izin dari Singapura, hal ini mengakibatkan “delay” = keterlambatan. Dan pengertian “delay” bagi maskapai penerbangan adalah penambahan biaya. Alasan yang sering dikemukakan Singapura untuk menunda pemberian izin landing atau take off kepada maskapai Indonesia di Hang Nadim, adalah karena Angkatan Udara mereka sedang melakukan latihan tempur di wilayah Indonesia yang masuk ke kontrol FIR Singapura.
Daerah latihan ini erat kaitannya dengan DCA (Defence Cooperation Agreement) yang ditandatangi pada tahun 2007, antara Menhan Singapura dengan Menhan Indonesia, namun sampai dengan saat ini perjanjian tersebut belum mendapatkan persetujuan DPR RI.
Karena alasan sedang ada latihan militer, maka penerbangan dari Jakarta menuju Batam harus berbelok ke arah kanan dari rute normal saat berada di atas perairan Anambas, dengan demikian mengakibatkan tambahan waktu terbang antara 20-30 menit. Dengan tambahan waktu tersebut, akan berdampak pada penambahan fuel consumption yang harus ditanggung oleh maskapai penerbangan Indonesia. (YN/JK)