Oleh : Heru Legowo

Indonesiannews.co/ Jakarta, Rabu 9 Agustus 2017, Persatuan Ahli Navigasi Penerbangan Indonesia (PANPI) menyelenggarakan Round Table Discussion (RTD) dengan Topik pembahasan tentang Sertifikasi Ahli Navigasi Penerbangan Indonesia. Sebagai moderator acara adalah Sdra.Heru Legowo dengan 2 orang pembicara yaitu dari Ketua Lembaga Sertifikasi Aviasi dengan Bpk. Toto Hardiyanto Soebagyo,PhD,  dan dari Kepala Pusat Pengembangan SDM Perhubungan Udara diwakili oleh Bpk. Ahmad Bahrawi. Yang dilaksanakan di Klub Eksekutif Persada – Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Sertifikasi Ahli Navigasi Penerbangan Indonesia memiliki makna yang tersirat dan menyentuh banyak kalangan dan banyak profesi. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa banyak profesi yang belum memiliki standar profesi. Standar Profesi adalah ; “seseorang yang mendapat pendidikan dan pelatihan, kemudian karena pendidikan dan pelatihan yang diperolehnya lalu memiliki keahlian tertentu” dan “Setelah memiliki pendidikan dan keahlian, perlu ada pengakuan mengenai pendidikan dan keahliannya”. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya suatu PENGAKUAN RESMI. Pengakuan resmi ini adalah semacam “endorsement” yang menyatakan bahwa pemegangnya memiliki kemampuan teknis dan keahlian tertentu seperti yang tertulis didalam sertifikat. Biasanya yang mengeluarkan sertifikat itu adalah suatu asosiasi atau institusi dari kelompok keahliannya. Institusi inilah yang kemudian disebut sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi. Sementara ini yang kita tahu, baru beberapa profesi yang sudah memiliki sertifikasi semacam ini, misalnya : dokter, pilot, akuntan, ahli hukum dan lainnya. Padahal masih begitu banyak profesi lain, yang belum ada sertifikasinya. Disinilah Indonesia mesti berjuang untuk mewujudkan sertifikasi ini, agar para pekerja mampu bersaing dengan negara-negara ASEAN dalam mencari dan mendapatkan pekerjaan untuk menghasilkan penghasilan yang baik.

CARA MEMPEROLEH LSP

 

Round Table Discussion memberi gambaran, masukan dan menjelaskan yang sangat kecil / sedikit (karena keterbatasan waktu), sebagaimana proses sertifikasi itu seyogyanya dilakukan. Paparan Pak Toto Hardiyanto membuka wawasan mengapa Lembaga Serifikasi Profesi (LSP) sangat penting, dan bagaimana proses mendapatkannya serta apa hasilnya? Bagan ini menunjukkan bagaimana ke-tiga hal itu mesti dilakukan dan di implementasikan. Hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah bagaimana secara teknis menyiapkan para “assessor”  yang kompeten. Ini merupakan salah satu usaha yang mesti dipersiapkan dengan baik.

Selain itu sistem dan materi pengujian mesti standar sehingga keluarannya juga standar. Hal ini memang dapat menjadi hal yang sangat “crucial”. Hal yang crucial itu disebut dengan jelas oleh pembicara sessi kedua yaitu Direktur Operasi Airnav Bpk. Wisnu Daryono. Beliau menekankan agar sertifikasi ini, kemudian tidak membuat birokrasi berkepanjangan. Ini berpotensi membuat pelaksanaan pekerjaan menjadi terganggu. Beliau memberi contoh medical check (medex) dan ujian English proficiency bagi para ATC. Jika pelaksanaan medex dan test bahasa Inggris terganggu atau terlambat, hal ini dapat berakibat kepada pelaksanaan pekerjaan para ATC tersebut. Akibatnya lanjutannya adalah lack of personnel. Mengapa? Jika tidak lulus atau belum sempat medex padahal masa berlaku licence sudah expired, maka mereka akan di suspend sementara dan tidak bisa bekerja.

Himbauan beliau seyogyanya penguji kesehatan dan bahasa Inggris bisa dimana saja asal sudah endorsed. Jadi tidak harus di suatu institusi tertentu saja. Kembali kepada LSP, untunglah kita sudah memiliki Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Lembaga inilah yang akan mengawal dan mengawasi bagaimana proses sertifikasi ini diselenggarakan dan memastikan bahwa sertifikasi yang dikeluarkan oleh institusi yang berwenang, menjadi jaminan kualitas dari pelaksanaan suatu pekerjaan. Semua LSP mesti menginduk ke BNSP dan mengikuti standard yang sudah ditentukan, dalam melakukan pekejaannya.

TIGA INSTITUSI UTAMA

Toto Hardiyanto Soebagyo,PhD  mengatakan; “bahwa proses pembentukan LSP melibatkan 3 institusi utama, yaitu Akademik, Bisnis dan Pemerintah. Akademik bertugas mendidik dan menghasilkan lulusan yang memilki pengetahuan (knowledge) yang baik. Lingkungan Bisnis meminta agar lulusan itu memiliki kemampuan (skill) yang siap (dilatih) untuk bekerja atau employable. Selanjutnya Pemerintah dalam hal ini BNSP mengeluarkan pengakuan endorsement dari pekerja yang bersangkutan itu. Langkah berikutnya masih cukup panjang dan masing-masing sektor dari dunia kerja mesti mulai memikirkan bagaimana membuat sertifikasi dan endorsement dari angkatan kerja yang sudah memiliki Knowledge, Skill dan Behaviour itu.

Bagan menunjukkan bahwa dalam mempersiapkan untuk mendapatkan LSP, ada beberapa langkah yang mesti ditempuh. LSP mesti terlebih dahulu memiliki manajemen, tempat uji kompetensi dan yang paling penting adakah mempunyai assesor kompetensi. Setelah ke tiga hal ini sudah terpenuhi, maka BNSP akan menugaskan assesor lisensi untuk menikai kesiapan dan kapabilitas calon LSP. Jika semuanya semuanya sudah memenuhi syarat, barukah Serifikat LSP diberikan kepada institusi yang  bersangkutan. Pada kesepakatan antar negara-negara anggota ASEAN di Vientiane 29 November 2004 dalam ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors, ditetapkan prioritas sektor-sektor usaha. Ada di 7 Sektor Barang dan 5 Sektor Jasa. Sektor Barang meliputi : Produk Berbasis Agro, Otomotif, Elektronika, Produk Karet, Tekstil dan Produk Tekstil, Perikanan dan Produk dari Kayu. Sedangkan di Sektor Jasa terdiri dari : Penerbangan, Jasa Online, Pariwisata, Kesehatan dan Logistik. Indonesia mesti menyiapkan diri dengan serius program sertifikasi ini. Ancaman yang nyata adalah selalu ada kemungkinan angkatan kerja ASEAN memasuki dan membanjiri Indonesia. Jika tidak siap dengan sertifikasi, maka angkatan kerja kita bakal terdesak dan hanya menjadi pekerja kasar. Sebab mereka yang sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan tetapi belum disertifikasi, akan suling bersaing dengan yang sudah memikiki sertifikasi. Ini bakalan membuat mereka sulit berkompetisi dengan tenaga asing, yang sudah berlisensi dan bersertifikasi dan memasuki dunia kerja Indonesia. Marilah kita berbuat sesuatu untuk Indonesia. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita lalu siapa lagi?”  tegas Toto Hardiyanto Soebagyo,PhD.

(Heru Legowo/Toto Hardiyanto Soebagyo/YN)