Pertemuan Informal Presiden RI yang Merendahkan Martabat Bangsa

Indonesiannews.co/ Jakarta, 10 September 2017.  Indonesian Aviation and Aerospace Wacth sebagai “Non Government Organization” berorientasi pada kemajuan perkembangan penerbangan di Indonesia. Dan berharap sebagai negara yang luas terdiri dari beberapa kepulauan dapat menerima hasil devisa yang maksimal dari penerbangan komersial dan meningkatkan keamanan serta kenyamanan penerbangan.
Dalam rangka memperingati 50 tahun hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Singapura, kiranya perlu diingat hal-hal yang terjadi sejak tanggal 7 September 1967 yaitu tanggal diawalinya hubungan diplomatik antara kedua negara hingga sekarang.  Fakta menunjukkan bahwa  hubungan bilateral antara Republik Indonesia dengan Republik Singapura, dari tahun ke tahun telah mengalami pasang surut.   Dengan tujuan bahwa kepentingan nasional Indonesia harus dijadikan dasar dalam melakukan berbagai perundingan antara Indonesia dengan Singapura.
Perlu kiranya diingat kembali Pernyataan PM Singapura Lee Hsien Loong di Parlemen pada tanggal 19 Januari 2005 dan pernyataan Menlu George Yeo di Parlemen pada 18 Januari 2005, 17 Oktober 2005 dan 2 Maret 2006, yang pada intinya  mengindikasikan betapa pentingnya kedudukan Indonesia bagi Singapura,  dan juga kemajuan dalam hubungan bilateral Indonesia-Singapura, khususnya yang menyangkut berbagai upaya untuk penyelesaian outstanding issues. Hal tersebut berlanjut pada pertemuan informal antara Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura Lee Hsien Loong di Bali, pada tanggal 3-4 Oktober 2005. Pada pertemuan tersebut dalam rangka memenuhi usulan PM Singapura. Kedua kepala pemerintahan ini sepakat memparalelkan kegiatan perundingan terhadap 3 (tiga) perjanjian kerjasama yaitu :
1.      Perjanjian Kerjasama Pertahanan,
2.      Perjanjian Ekstradisi dan
3.      Perjanjian Counter-Terrorism.

Beberapa catatan tentang pertemuan antara Indonesia dan Singapura dapat disampaikan sebagai berikut :
1.      Kunjungan kenegaraan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ke Singapura pada tanggal 15-16 Pebruari 2005,
2.      Kunjungan kerja Presiden RI ke Singapura pada 6-7Agustus 2006
3.      Pertemuan informal Presiden RI dengan PM Lee Hsien Loong disela-sela Pertemuan Tahunan Forbes Global CEO Conference ke-6 di Singapura pada  tgl 4 September 2006.

Secara keseluruhan telah memantapkan pengertian bersama bagi kedua negara untuk mengembangkan jalinan hubungan bilateral dengan spektrum elemen substansi seluas mungkin.
Namun pada kenyataannya cukup mengecewakan,  sampai dengan tahun 2017 apa yang diperoleh Indonesia sebagai kelanjutan dari pertemuan-pertemuan tersebut dinilai masih jauh dari harapan.  Defense Cooperation Agreement (DCA) yang ditandatangani pada tahun 2007 ternyata tidak diikuti dengan EXTRADISI para koruptor, hal tersebut  ditunggu-tunggu sampai dengan tahun 2017, akan tetapi extradisi tidak pernah terjadi.   Untuk DCA sendiri apabila diteliti lebih jauh,  tidak mencerminkan suatu perjanjian pertahanan namun lebih kepada memenuhi kepentingan Singapura untuk mendapatkan daerah “LATIHAN Militer di Wilayah Kedaulatan Indonesia”.  Sebagaimana tertuang dalam manfaat utama yang ingin diraih bersama dari kerjasama ini adalah pengembangan profesionalitas dan interoperabilitas lewat saling pemberian akses lebih besar terhadap fasilitas dan wilayah latihan kedua negara.
Proses ratifikasi DCA ke DPR cukup memprihatinkan karena Hingga kini, DPR belum sempat melaksanakan fungsi legislasinya dengan meratifikasi atau menyetujui atau menolak meratifikasi DCA lewat pembuatan undang-undang DCA di dalam negeri.  Diskusi yang utama dan paling disoroti adalah yang terjadi antara perwakilan masyarakat Indonesia di Komisi I DPR dengan pihak Eksekutif.  Sebagai komisi yang membidangi Pertahanan, Intelijen, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika, sudah merupakan tanggung jawab  Komisi I untuk mengawasi, termasuk meminta penjelasan dari fasilitas di bagian tertentu wilayah dari kedua negara.  Akhirnya DPR Meminta Pemerintah memperbaiki substansi perjanjian Defense Cooperation Agreement (DCA) dengan Singapura yang dinilai lebih menguntungkan Singapura, dan menolak DCA tersebut apabila tidak diperbaiki
Catatan :   Perlu diingat untuk dipertimbangkan tentang perjanjian pertahanan antara Indonesia dengan Singapura, bahwa Singapura adalah anggota dari FPDA.  The Five Power Defence Arrangements (FPDA) are a series of defence relationships established by a series of multi-lateral agreements between the United Kingdom, Australia, New Zealand  Malaysia and Singapore (all Commonwealth members) signed in 1971.
Rencana percepatan realignment FIR Singapura dengan FIR Jakarta sebagaimana yang diinstruksikan oleh presiden RI  pada tanggal 8 September 2015 , yang tentunya juga diketahui para pimpinan Singapura ternyata tidak mendapatkan respons sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Perlu kiranya diingat kembali bahwa perjanjian realignment FIR singapura pada tahun 1995 sampai dengan saat ini belum memiliki kekuatan hukum yang pasti, karena ICAO sampai dengan saat ini belum memberikan persetujuan sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam pasal 10 perjanjian. Namun Singapura tetap memberlakukan perjanjian tersebut dan Indonesia sepertinya tidak berkeberatan.  Yang menjadikan masalah dan cukup merendahkan martabat bangsa Indonesia adalah pada waktu Indonesia meminta agar pasal 7 perjanjian dijalankan yaitu: DI KAJI ULANG perjanjian yang dilakukan setiap 5 tahun,  ternyata Singapura menolak dengan alasan perjanjian belum berlaku karena pasal 10 belum terpenuhi. Untuk diketahui perjanjian tersebut tidak memiliki batas waktu,  tidak dapat dicabut hanya dapat “DIKAJI ULANG” yang dilakukan setiap  5 tahun.  Faktanya  perjanjian sudah berlangsung selama 21 tahun tetapi belum pernah sekalipun dilakukan “KAJI ULANG”.
Kiranya dapat diartikan bahwa kewenangan pengontrolan di sebagian ruang udara kedaulatan Indonesia yang dilakukan oleh Singapura berada di kawasan yang sangat strategis bagi bangsa Indonesia dan kawasan Asia Tenggara,  akan selamanyakah dipegang oleh Singapura dan kita sepertinya tidak berkeberatan……..????..
Dimana harga diri bangsa Indonesia,  demikian juga bagaimana dengan upaya penegakkan kedaulatan dan keamanan Nasional Indonesia,  di kawasan tersebut. Memang ada pihak yang membenarkan kewenangan pengontrolan ruang udara di kawasan tersebut dipegang oleh Singapura dengan alasan keselamatan penerbangan, hal ini sangat MENGGELIKAN karena bagi Indonesia pengontrolan ruang udara adalah hal yang biasa dilakukan, PERLU DIINGAT Luas Ruang Udara Indonesia itu 52% dibandingkan dengan Ruang Udara total negara-negara ASEAN, dilalui oleh 247 Rute Udara Domestik yang menghubungkan 125 Kota di Dalam Negeri, terdapat 57 Rute Udara Internasional yang menghubungkan 25 Kota di 13 Negara, memiliki 233 Bandara yang terdiri atas 31 Bandara berstatus Internasional dan 202 Bandara berstatus Bandara Domestik.
Dan yang lebih penting lagi Presiden RI telah memberikan instruksi untuk percepatan REALIGNMENT  pada tanggal 8 Sepgtember 2015, yaitu agar dalam jangka waktu 3-4 tahun ke depan, Indonesia dapat mengambil alih pengontrolan ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna dari otoritas negara Singapura.
(JK/YN)