Deklarasi Pendirian Asosiasi Perkumpulan Institusi Penerbangan Indonesia (PIP2I)

By : Capt Rudy Rooroh, Dewan Pengawas PIP2I.

Indonesiannews.co/Halim Persada Kusuma, Hari ini 13 Institusi Pendidikan Penerbangan non-pemerintah di Persada Executive Club mendeklarasikan pendirian asosiasi Perkumpulan Institusi Penerbangan Indonesia (PIP2I) atau Indonesian Association of Aviation Education Institution yang disepakati pada tanggal 13 September 2017, adalah sebagai respon atas dinamika pada Industri Penerbangan dan sebagai upaya untuk mengantisipasi wacana dan perubahan kebijakan serta penerbitan regulasi baru yang secara nyata dan pasti, cepat atau lambat akan membunuh industri penerbangan di Indonesia.
Antara lain adanya wacana dan inisiatif dari Kementerian Perhubungan dengan langkah mengantisipasi Surplus Pilot sejak tahun 2016 , akan membunuh Industri ini:
1. Moratorium Penerimaan Siswa Penerbang,
2. Peningkatan Persyaratan Pendaftaran Siswa Penerbang Menjadi S1/D4,
3. Merger/Penyatuan Antar Institusi Pendidikan Penerbang swasta,

Dengan ketentuan kerja-sama dengan maskapai sebelum membuka kelas baru, – PERSYARATAN :
Pesawat, serta Pembatasan Usia Pesawat Latih, Yang semua ini pada akhirnya akan berujung pada pengurangan jumlah institusi penerbangan swasta nasional, khususnya yang baru berdiri dalam kurun 3-5 tahun terakhir.
Pada tanggal 4 Agustus 2017, ditetapkan PM No.64/2017 yang merupakan Perubahan ke-3 dari PM No. KM57/2010 tentang CASR Part 141, antara-lain ;
Ditentukannya Persyaratan Untuk Memiliki, tidak lagi Menguasai (Dapat Sewa), serta syarat minimal (tak berdasar) jumlah armada 5 pesawat, dimana 1 pesawat bermesin ganda. Kepemilikan harus dipenuhi dalam kurun waktu 6 bulan, sehingga sejumlah institusi terancam tutup jika tidak dapat memenuhi batas waktu tersebut.
Pembatasan pelatihan terbang pada training area tertentu, pembatasan bandara untuk basis training, penetapan bandara-bandara untuk training yang tidak memiliki fasilitas memadai, penerapan slot system Chronos di bandara-bandara untuk penerbangan komersial yang tidak dapat mengakomodasi karakteristik penerbangan pesawat latih, penerapan security clearance untuk pesawat latih beregistrasi Indonesia.
Sejalan dengan nafas Nawacita Presiden/Pemerintah maka ada Agenda Prioritas dalam Nawacita yang relevan dengan misi industri pendidikan penerbangan nasional, yaitu:
1) meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui (pemerintah akan memfasilitasi untuk mencapai): – Indonesia Pintar (pendidikan), Indonesia sehat, Indonesia Kerja (menciptakan lapangan kerja) dan Indonesia sejahtera;
2) meningkatkan produktivitas rakyat (dengan fasilitas yang mendukung, seperti: pemotongan/insentif biaya/pajak, dan debirokratisasi perijinan), serta meningkatkan daya saing di pasar internasional (mendidik dan melatih SDM untuk mencapai kualitas dibutuhkan pasar internasional).

Selain hal tersebut, pemerintah juga tengah mendorong pihak swasta untuk berinvestasi di segala bidang, tentunya seperti disebutkan diatas akan berdampak pada kelangsungan industri institusi pendidikan penerbangan di Indonesia.

Keinginan seseorang untuk menjadi penerbang, tidak terbatas pada institusi-institusi di dalam negeri, kerumitan dan biaya tinggi, serta tidak banyaknya pilihan institusi di Indonesia, hanya akan mendorong mereka belajar di institusi-institusi luar negeri, yang berarti capital flight bagi Indonesia.

Peluang pasar internasional sebenarnya sangat menarik; ASEAN tiap tahun membutuhkan 1,544 penerbang baru. Sekitar 4,500 penerbang baru per tahun dibutuhkan China.
Filipina dengan 32 institusi pendidikan penerbangnya, dapat mengakomodasi 3000 siswa per-tahun, dimana sebagian besar adalah siswa internasional, dan sekitar 200 siswanya berasal dari Indonesia. Pemerintah Indonesia, perlu melakukan benchmarking dengan pemerintah Filipina, Australia dan Amerika bagaimana memfasilitasi agar Indonesia dapat menjadi destinasi menarik bagi calon-calon penerbang internasional.

Kementerian Perhubungan dalam hal ini Direktorat Perhubungan Udara selaku pembuat regulasi, cukuplah menjadi wasit yang adil dan jujur sehingga industri ini bisa tumbuh dan berkembang bukan sebaliknya.
Akankah langkah dan kebijakan dari Kementerian Perhubungan ini tidak harus senafas dengan Nawacita?

(YN)