Vice president of Indonesia Aviation and Aerospace Watch, Marsma TNI (Purn) Juwono Kolbioen.

Polemik Pembangunan Bandar Udara serta Fasilitasnya.

Indonesiannews.co/ Jakarta, 3 Nopember 2017. Indonesia Aviation & Aerospace Watch, Masrma TNI (Purn) Juwono Kolbioen mengatakan : “Bahwa selama ini telah banyak polemik yang berkaitan dengan Bandar Udara, mulai dari pembangunan fasilitas Bandara sampai dengan pembangunan bandara baru. Secara keseluruhan hal itu berkaitan erat dengan Aerodrome Capacity”.

Untuk itu bersama ini disampaikan ringkasan tentang bagaimana membuat perhitungan tentang aerodrome capacity atau yang popular kita kenal dengan Slot. Tulisan ini merupakan hasil pemahaman terhadap beberapa ICAO document yang berkaitan dengan aerodrome capacity dan beberapa references  practice lainnya.
Disini digunakan istilah aerodrome atau airport capacity, hal ini agar dapat dipahami lebih comprehensive dan tidak sectoral.  Adapun maksud dan tujuannya adalah agar dapat dipahami secara lengkap dan benar bagaimana menentukan capacity suatu aerodrome atau airport sehingga dalam pembangunan bandara termasuk meningkatkan kemampuan suatu bandara dapat dilaksanakan secara tepat dan benar.

*Aerodrome capacity*   Aerodrome capacity ditentukan oleh dua hal atau kelompok besar yaitu Land side dan AirSide.  Masing-masing kelompok ini akan diuraikan secara singkat, ialah sebagai berikut:
Land Side
1. Capacity access.    Transportasi ke dan dari airport melalui, kereta, public bus, kendaraan roda empat maupun moda lainnya, dimana capacity access harus selalu diperhitungkan agar tidak terjadi staknasi atau congestion traffic di airport maupun sekitarnya. Pemandangan ini seperti yang kita lihat di Cengakreng airport, dimana capacity access-nya sangat tidak imbang dengan jumlah traffic penumpang yang berangkat maupun datang.
2. Terminal Capacity.   untuk menghitung terminal capacity ini dapat menggunakan ICAO guide line, didalam perhitungan harus diperhatikan antara lain ruang bebas yang mencukupi, check in counter, security check yang memadai dan accurate, fasilitas umum seperti toilet, tempat solat dll.
3. Apron Capacity.    hal ini harus dipertungkan jumlah parking stand yang tersedia dan sudah disesuaikan dengan jenis pesawatnya. Pada beberapa airport terjadi perubahan peruntukan dari wide body ke narrow body, tetapi untuk facilitas fuel hydrant yang ada tidak ikut dilakukan perubahan, sehingga posisi parkir pesawat dan hydrant outlet yang tidak sesuai. Kondisi semacam ini sangat membahayakan keselamatan saat dilakukan pengisian bahan bakar, keadaan ini terjadi di Kualanamu, Ngurah Rai, Cengkareng dan Surabaya. Untuk menghindari hal ini kedepan harus dilakukan kajian secara terintegrasi dan comprehensive sehingga kejadian serupa dapat dihindari.

4. Taxi Way Capacity.    Hal ini sangat berkaitan dengan beberapa hal antara lain:
a. SOP yang adequate sesuai dengan peralatan yang terpasang.
b. Peralatan bantu pada taxi way
c. Signing yang jelas dan mudah dipahami
d. Training personel pengatur Aircraft Movement yang adequate yang dilanjutkan dengan pengelolaan Sertifikasi Kompetensi personel dimaksud secara tepat dan benar.
e. Kemampuan Bahasa Inggris dari para petugas untuk disesuaikan dengan standard ICAO.

5. Runway Capacity.    Penentuan runway capacity juga harus memperhitungkan jika adanya suatu delay, runway layout seperti adanya facilitas high speed exit dan hal significant lainya sperti  kesempatan atau jeda waktu  untuk melakukan  runway inspection to ensure free from FOD dan runway maintenance. Pada kasus Cengkareng pada saat ini hanya diberikan slot untuk runway inspection pada pagi hari dan malam hari (dua kali perhari), namun kejadian FOD yang dialami operator meningkat secara significant. Kebutuhan runway inspection harus sejalan dengan frequency take off landing dan finding during inspection serta reported FOD oleh operator, jika hal ini masih sering ditemukan FOD ataupun reported FOD, sudah saatnya airport meninjau ulang baik frequency inspection, metode ataupun peralatan yang digunakan. Maka dalam hal ini juga harus dilakukan review ulang runway capacity agar dapat memberikan waktu yang cukup agar dapat menjamin kebersihan runway sehingga event FOD dapat diminimalkan.

AIRSIDE
1. Air space capacity, dimana hal ini sangat tergantung dari beberapa hal berikut:
a. Airport geographical condition e.g. pegunungan, lautan dll
b. Vicinity airport around aerodrome terminal area
c. Air space control area, hal ini berkaitan dengan jumlah pembagian control ruang udara yang berhubungan dengan jumlah petugas controller.
d. Kecanggihan peralatan yang digunakan
e. Training personel ATC untuk mendapatkan sertifikasi kompetensi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Level penguasaan bahasa inggris petugas controller
g. Recurrent dan facilitas training lainya seperti simulator dll.
h. SOP yang adequate dan disosialilasikan dengan baik serta dijalankan dengan benar.

2. Kemampuan radar, dimana kebanyakan airport di Indonesia menggunakan satu radar head yang dipakai baik untuk approach maupun untuk end route. Kondisi ini memaksa penggunaan radar rotation speed yang cukup pelan antara 8 – 12 detik per putaran, sedangkan untuk approach control diperlukan  4- 6 detik per putaran. Hal ini akan sangat berpengaruh pada performance controller pada pesawat yang ada dalam aerodrome control area, kondisi ini juga akan berpengaruh jarak antar pesawat yang dikontrol akan semakin jauh. Selain hal itu, akurasi radar juga menjadi hal perlu diperhatikan terutama masalah kalibrasi radar yang saat ini belum jelas.

3. Kemampuan personel controller untuk melakukan manual control saat radar mendadak mati. Kondisi ini kami melihat perlu mendapat perhatian yang serious, karena pelatihan dan practice dalam melakukan manual control masih sangat terbatas.

4. Batasan kemampuan seorang controller dalam melakukan pengontrolan pesawat pada waktu yang bersamaan dan kemampuan pengontrolan dalam satuan waktu tertentu, misalnya per lima puluh menit atau satu periode atau cycle waktu tugas. Perlu dilakukan penelitian yang specific untuk Indonesia, karena hal ini tidak bisa hanya sekedar mencontoh airport lain tanpa memahami kondisi dan culture yang ada.

5. Alternate airport Capacity, hal ini perlu juga diperhatikan jika suatu saat terjadi runway blocking, maka pesawat harus divert ke alternate airport. Saat ini hampir seluruh airline yang menuju bandara Soekarno Hatta menjadikan Palembang sebagai alternate aiport. Kondisi ini perlu dilakukan evaluasi dengan cermat agar dalam kondisi demikian tidak terjadi masalah seperti kejadian sebelumnya.
Untuk ini sesuai dengan recommendation ICAO, bahwa setiap airport hendaknya membuat SOP atau manual sebagai guide line untuk menghitung atau menentukan aerodrome atau airport capacity, sehingga siapapun yang bertugas dan kapanpun, mereka dapat melakukan penentuan capacity dengan benar.
Dalam penentuan capacity sebuah aerodrome atau airport  yaitu adalah dengan cara “The lowest number from above condition”.
Aerodrome atau airport capacity yang di Publish oleh sebuah airport harus  sudah dijamin memenuhi aspect Compliance, Safety, Security dan Kenyamanan. Untuk itu sebelum di-publish perlu kiranya dilakukan audit oleh authoritas yang berwenang agar kondisi diatas selalu dapat terpenuhi.
Demikian kajian kami, semoga summary ini dapat memberikan masukan dan dikembangkan untuk membuat sebuah manual dalam menentukan aerodrome capacity

(YN)