Saran Tindak; Masalah Pengontrolan Ruang Udara di Kepulauan Natuna

 

Indonesiannews.co / Yohana Nency
Jakarta, 1 Juni 2108; pukul 00.00 wib

 

Highlights

Tun Dr. Mahathir Mohamad diambil sumpah sebagai Perdana Menteri Ketujuh Malaysia di hadapan Yang di Pertuan Agung, Sultan Muhammad V.
Pengambilan sumpah Mahathir dilakukan di Istana Negara pada Kamis 10 Mei 2018 sekitar pukul 9.50 malam waktu setempat.   Sebelumnya Mahathir pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia selama 22 tahun (16 Juli 1981 s/d 31 Oktober 2003). Pernyataan Mahathir setelah menjabat sebagai Perdana Menteri bahwa;  Pemerintahan Malaysia akan terus mempertahankan hubungan baik dengan Indonesia untuk tetap baik. Dan dimasa menjadi Perdana Menteri, tidak ada masalah besar antara kedua negara. Dikatakan bahwa hubungan dengan Indonesia, memang telah  terjalin dengan baik dan akan menjadi lebih besar.

Bahwa sebagai satu rumpun bangsa. Malaysia dan Indonesia sama-sama tidak suka keributan, yang harus dilakukan adalah memupuk kesepahaman agar tidak terjadi konfrontasi seperti yang dulu-dulu.     Indonesia dengan  dengan 17 ribu pulau dan ratusan juta rakyat, menghadapi permasalahan yang lebih banyak dan kompleks dibanding dengan Malaysia yang hanya berpenduduk 30 juta, sehingga dapat lebih cepat dalam menyelesaikan masalah.

Kondisi yang terjadi dipandang merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia untuk duduk kembali di meja perundingan dengan pihak Malaysia, khususnya dalam penyelesaian permasalahan dalam pengontrolan ruang udara kedaulatan NKRI di Kawasan Kepulauan Natuna.

Bahwa untuk mendukung kebijaksanaan dikontrolnya sebagian ruang udara kedaulatan NKRI di Kawasan selat Malaka, Kepulauan Riau dan Natuna oleh otoritas Singapura.
Indonesia dan Singapura telah menandatangani perjanjian realignment FIR Jakarta dengan  FIR Singapura pada  tanggal 21 September 1995 di Singapura.
Perjanjian tersebut diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No. 7 tahun 1996 tanggal 2 Februari 1996.

 

Adapun pendelegasian kewenangan pengontrolan tersebut diatur sebagai berikut :

  1. Sector “A” :   Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di wilayah sector A kepada Singapura dari permukaan laut sampai ketinggian 37.000 feet.
  2. Sector “B” :  Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan wilayah sector B kepada Singapura dari pemukaan laut sampai dengan ketinggian tak terhingga (unlimited height).
  3. Sector “C” :  Sector C tidak termasuk di dalam perjanjian.  Namun faktanya khusus untuk ruang udara diatas kawasan kepulauan terdapat tiga otoritas negara yang berkuasa atas ruang udara itu. Indonesia memiliki kewenangan atas udara Natuna hanya sampai dengan batas ketinggian 4.000 feet, Malaysia 4.000-20.000 feet dan Singapura 20.000 feet ke atas.
 

Dalam proses pembahasan antara Indonesia dengan Singapura,  pada proses perjanjian realignment FIR Jakarta dengan FIR Singapura yang dilakukan secara bilateral pada tahun 1995, telah terjadi sesuatu yang kurang tepat, (dikarenakan pendelegasian kewenangan pengontrolan ruang udara antaralain Sector “C”).  Pada Sector “C” termasuk di dalamnya Kawasan Kepulauan Natuna, dan untuk Kawasan ini Indonesia telah memiliki perjanjian tentang pendayagunaan ruang udara di kepulauan Natuna dengan Malaysia,  yang ditandatangani pada tanggal 25 Pebruari 1982 dan diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 1 tahun1983. Dalam hal ini, Malaysia harus disertakan sebagai anggota yang berunding, karena ada keterkaitan berdasarkan perjanjian tersebut diatas. Akan tetapi anggota yang berunding hanya Indonesia dan Singapura.

 

 

(YN / indonesiannews.co – Jakarta)