Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW)

Malaysia Menginginkan Kepulauan Natuna

 

Indonesiannews.co / Yohana Nency Jakarta, 20 Juni 2108; pukul 00.00 wib

 

 

Indonesia Aviation and Aerospace Watch, melalui VP IAAW; Marsma TNI (Purn) H.Juwono Kolbioen memberi tanggapan atas artikel media online Malaysia, terbit hari Sabtu, 7 Desember 2013, pkl.12.00 waktu Malaysia;  yang mungkin terlepas dari pantauan Indonesia yang ditulis oleh dua orang dosen “Universitas Sains Islam Malaysia;  Mohd Hazmi Mohd. Rusli, Ph.D dan Wan Izatul Asma Wan Talaat, Ph.D., pada media online  Malaysia www.mStar.com.my  tersebut dengan judul  “Kepulauan Natuna ‘Bergeografikan Malaysia Berdaulatkan Indonesia’ “;   Mengatakan bahwa Kepulauan Natuna seharusnya adalah milik Malaysia.  Pada media online tersebut dicantumkan pertanyaan: “Kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia” ?

 

Dalam artikel tersebut; Mohd Hazmi Mohd. Rusli, Ph.D dan Wan Izatul Asma Wan Talaat, Ph.D., menyebutkan beberapa alasan mengapa Kepulauan Natuna ‘seharusnya’ adalah milik Malaysia, adalah sebagai berikut:

  1. Secara geografis;  kepulauan Natuna terletak ditengah-tengah yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Serawak Malaysia,
  2. Bahasa Masyarakat Natuna; memakai bahasa melayu dialek Terengganu Malaysia,
  3. Natuna awalnya ada dibawah pemerintahan Kerajaan Pattani dan Kerajaan Melayu Johor Malaysia pada tahun 1597,
  4. Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 tidak menempatkan Kepulauan Natuna dibawah kekuasaan Inggris ataupun Belanda;  namun dibawah kekuasaan Kerajaan melayu Johor, Malaysia yang sejatinya dibawah pengaruh Inggris,
  5. Kesultanan Johor merdeka dari Ingrris pada tahun 1957;  dan bergabung menjadi wilayah persekutuan Malaysia.
 

Atas dasar tersebut,  Mohd Hazmi Mohd. Rusli, Ph.D dan Wan Izatul Asma Wan Talaat, Ph.D., ; menyimpulkan sesuai dengan konsep “UTTI POSSIDETI JURIS” maka Kepulauan Natuna yang dahulunya merupakan wilayah Kerajaan Johor seharusnya menjadi bagian dari Malaysia. Dengan kata lain;  Kepulauan Natuna tidak pernah menjadi daerah jajahan Belanda, maka seharusnya Kepulauan Natuna bukan bagian dari Indonesia menurut konsep tersebut.

 

Indonesia memasukkan Kepulauan Natuna menjadi wilayahnya secara resmi pada tahun 1956, setahun sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Karena konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1962-1966 pemerintah Malaysia tercurah perhatiannya untuk menyelesaikan konflik tersebut, sehingga keberadaan Kepulauan Natuna yang diklaim Indonesia terluput dari perhatian.
Diperkirakan bahwa pada waktu itu untuk mempercepat berakhirnya konflik, pemerintah Malaysia berupaya menahan diri untuk tidak mempersoalkan keberadaan Kepulauan Natuna agar bisa berdamai dengan negara jiran serumpun yaitu Indonesia.

Hingga kini 56 tahun (saat tulisan dimedia online Malaysia ditayangkan), dan saat ini sudah berlangsung 62 th (1956 s/d 2018)  telah berlalu ternyata Malaysia tidak pernah mempersoalkan keberadaan kepulauan tersebut, sehingga sesuai dengan konsep Undang-Undang antar bangsa yang mensahkan suatu wilayah untuk menjadi wilayah negara tertentu dengan tidak ada bantahan dari negara-negara lain,  maka Indonesia beruntung memiliki Kepulauan Natuna walau dalam sejarahnya ‘seharusnya’ menjadi milik Malaysia.

Tulisan para dosen Malaysia itu kiranya harus kita waspadai. Karena tulisan tersebut jelas suatu ‘provokasi halus’ agar Kepulauan Natuna memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan Malaysia. Apalagi saat ini Kepulauan Natuna meminta untuk menjadi provinsi. Tidak menutup kemungkinan suatu saat, Natuna memisahkan diri dari Indonesia (‘praduga’  pengaruh Malaysia).

Belajar dari riwayat Malaysia berhasil memiliki Sipadan dan Ligitan yang seharusnya milik Indonesia.  Bisa dilihat Malaysia  “menganggap mudah / enteng”  masalah ini.   Tetapi akan menjadi masalah pelik jika secara ekonomi dan militer, Malaysia lebih maju dari Indonesia, tidak mustahil Malaysia akan mengintervensi Kepulauan Natuna seperti Rusia mengintervensi Crimea dan ‘merebutnya’  dari Ukraina.

 

Kesimpulan
Meskipun kecil kemungkinan hal tersebut dapat terjadi, tetapi tidak mustahil kemungkinan tersebut dapat terjadi.  Terutama jika Pemerintah Indonesia mengabaikan kesejahteraan Masyarakat Natuna.

Perlu diketahui; Kekayaan alam Natuna dari Gas dan Minyak Bumi telah menyumbang Devisa terbesar bagi Negara Republik Indonesia. Apabila pemerintah Indonesia tidak fokus terhadap upaya Penegakkan Kedaulatan, Pembangunan Kemampuan Pertahanan dan Keamanaan di Natuna, maka dapat saja terjadi negara lain akan dengan mudah mengatur Indonesia.

Sebagai contoh;  Sebagian wilayah Udara Kedaulatan Indonesia yang dikontrol oleh Singapura, dan belum lama ini sebagian wilayah Natuna dimasukkan China di peta wilayahnya dan/atau seperti Malaysia yang akan terus melakukan manuver di pulau Anambat.

 

Masyarakat Natuna sangat membutuhkan infrastruktur seperti di daerah lain, mereka dapat melepaskan diri dari KETERISOLIRAN dengan wilayah lain di Indonesia.

Di kawasan kepulauan Natuna sudah selayaknya dibangun beberapa macam infra struktur terutama bandar-bandar udara dan bandar-bandar laut. Dengan memperbanyak operasi penerbangan sipil yang disubsisi pemerintah ke kawasan kepulauan Natuna, akan sangat membantu pembangunan di Natuna.

Saat ini penerbangan ke/dari Natuna sangat sedikit dan harga ticket cukup mahal untuk ke daerah Kepulauan Natuna.  Begitu juga transportasi laut yang sangat terbatas, bahkan membutuhkan waktu berhari-hari ditengah laut untuk dapat mencapai Kepulauan Natuna.

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah Pendidikan dan Pembinaan Sosial Budaya, untuk mencerdaskan generasi penerus anak-anak bangsa ‘harus’ menjadi prioritas Utama.

 

 

(YN / Indonesiannews.co – Jakarta)