May (Raihaanun) berjalan pulang dari pasar malam. Kala itu usianya baru 14 tahun. Sendirian, dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan. Raut mukanya menampilkan kegembiraan usai menikmati wahana perahu kora-kora. Ketika melewati area sepi, sekelompok pria berbadan besar tiba-tiba menyergapnya masuk ke sebuah gudang. May kalah, meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri. Kedua tangan dan kakinya diikat ke kaki-kaki meja tempat May dibaringkan paksa. Setelah menjalani penyiksaan—bak sebentuk pemanasan—May kemudian diperkosa secara bergantian oleh para pelaku. Sejak malam itu hingga delapan tahun kemudian May tidak pernah mengucap sepatah kata. May bahkan tak mau keluar dari kamar, apalagi rumah, meski rumah tetangganya sedang kebakaran. Jika bapaknya (Lukman Sardi) memaksa, May akan histeris. May lalu buru-buru mengunci diri di toilet dan mengiris-iris pergelangan tangan dengan selembar silet. Rutinitas sehari-hari May jalani dengan membuat boneka. Bapak membantu menjualkannya. Tapi Bapak juga tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah. Kejadian pahit yang menimpa May ia anggap sebagai akibat karena dirinya tidak mampu menjadi pelindung yang baik bagi sang anak. Rasa frustasi kemudian ia alihkan ke atas ring tinju amatir dan ajang pertarungan bebas di bawah tanah. Semakin buruk kondisi May, semakin bagus performanya di arena—begitu pula sebaliknya.
May (Raihaanun) berjalan pulang dari pasar malam. Kala itu usianya baru 14 tahun. Sendirian, dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan. Raut mukanya menampilkan kegembiraan usai menikmati wahana perahu kora-kora. Ketika melewati area sepi, sekelompok pria berbadan besar tiba-tiba menyergapnya masuk ke sebuah gudang. May kalah, meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk meloloskan diri. Kedua tangan dan kakinya diikat ke kaki-kaki meja tempat May dibaringkan paksa. Setelah menjalani penyiksaan—bak sebentuk pemanasan—May kemudian diperkosa secara bergantian oleh para pelaku. Sejak malam itu hingga delapan tahun kemudian May tidak pernah mengucap sepatah kata. May bahkan tak mau keluar dari kamar, apalagi rumah, meski rumah tetangganya sedang kebakaran. Jika bapaknya (Lukman Sardi) memaksa, May akan histeris. May lalu buru-buru mengunci diri di toilet dan mengiris-iris pergelangan tangan dengan selembar silet. Rutinitas sehari-hari May jalani dengan membuat boneka. Bapak membantu menjualkannya. Tapi Bapak juga tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah. Kejadian pahit yang menimpa May ia anggap sebagai akibat karena dirinya tidak mampu menjadi pelindung yang baik bagi sang anak. Rasa frustasi kemudian ia alihkan ke atas ring tinju amatir dan ajang pertarungan bebas di bawah tanah. Semakin buruk kondisi May, semakin bagus performanya di arena—begitu pula sebaliknya.