Capt. Soenaryo Yosopratomo.
Ketum Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW), Eks.Dirjen Perhubungan Udara, Eks.Penerbang TNI AL.
 

 

 

 

 

 

 

Mengkaji Ulang “ASEAN OPEN SKY POLICY” Sebagai  Kebijakan Bidang Keudaraan Pemerintah Indonesia

 

 

Bandar Udara Internasional Raja Sisingamangaraja XII, Tapanuli Utara, Sumut

 

Indonesiannews.co / Jakarta, 4 Nopember 2019. Presiden Joko Widodo resmi menjadikan Bandar Udara Silangit, Tapanuli Utara, Sumatera Utara menjadi Bandar Udara Internasional, pada hari Jumat, tanggal 24 Nopember 2017. Dan berdasarkan keputusan menteri perhubungan (Menhub)  menetapkan perubahan nama dengan Nomor KP 1404 Tahun 2018 tentang tentang Perubahan Nama, maka Bandar Udara Internasional Silangit berubah nama menjadi Bandar Udara Internasional Raja Sisingamangaraja XII pada tanggal 3 September 2018.

 

Pentingnya transportasi untuk  menunjang peningkatan perekonomian, perdagangan, serta mobilitas barang dan jasa serta alat angkutan massa (orang), sangat didukung dari moda transportasi udara. Kebijakan pemerintah yang menambah jumlah bandar udara, akan sangat mendukung transportasi udara secara Lokal, Regional maupun Internasional. Hal ini penting dalam peningkatan perekonomian, perdagangan, dan jasa, serta mobilitas angkutan barang dan penumpang.

Pembangunan Bandar Udara untuk meningkatkan perekonomian Indonesia, melalui sektor pariwisata, juga harus memperhatikan beberapa sektor terkait lainnya, antara lain yang berhubungan dengan ketahanan nasional (national resilience), hal ini patut diwaspadai dengan baik.

Secara ideal, pembangunan Bandar Udara, selayaknya merupakan cerminan dari meningkatnya jumlah konsumen, karena hal ini yang akan menentukan model pengembangan bandara.
Dapat dijelaskan bahwa; bandara merupakan bangunan yang menjadi tempat pertemuan antara beberapa pihak sehingga harus dibuat secara “Custome Made”  dengan menempatkan penumpang sebagai subyek utama.
Sedangkan pihak Maskapai, sebagai menyediakan jasa angkutan yang memberikan nilai pelayanan yang sesuai dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen.
Pengelola Bandara sebagai menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh operator dan penumpang/barang.
Dan, Petugas Lalu Lintas Udara menyediakan jasa layanan bagi maskapai demi kelancaran transportasi udara.
Pemerintah sebagai regulator yang mengatur dan mengawasi keseluruhan sistem tersebut demi tercapainya penerbangan yang aman, nyaman, selamat dengan biaya terjangkau bagi pengguna jasa.

1. Ditinjau dari Sisi Keselamatan
Dalam dunia penerbangan, khususnya penerbangan komersial, segi keselamatan menjadi acuan utama.
Prinsip zero error coba diterapkan oleh maskapai penyedia jasa layanan penerbangan. Melalui SOP yang ketat diharapkan tidak ada peluang kesalahan sedikitpun untuk mencapai standar keamanan yang baku.
Walaupun masih terdapat kemungkinan faktor luar seperti cuaca dan lain sebagainya, namun dengan prosedur operasional yang baku, kesalahan tersebut dapat diminimalkan. Sehingga dengan demikian prinsip zero error bisa diimplementasikan.
Hal lain adalah meminimalkan kesalahan sekecil mungkin. Dalam hal ini peran regulator melakukan pengawasan sangat penting.
Selain keselamatan selama penerbangan, dunia penerbangan juga perlu memperhatikan keselamatan dalam konteks yang lebih luas.
Selain inovasi pelayanan untuk menarik konsumen, pengembangan bisnis berupa pengembangan rute penerbangan juga penting untuk menopang kehidupan sebuah maskapai.

2. Ditinjau dari Sisi Ketahanan Negara “ASEAN Open Sky Policy = Langit Terbuka”
Namun juga perlu diingat bahwa penerbangan tidak hadir dalam ruang sosial dan politik yang hampa.
Artinya model pengembangan bisnis ini harus juga mengedepankan “IPOLEKSOSBUD-HANKAM NKRI”. Sehingga kita tidak terjebak atau masuk kedalam lingkaran yang tidak kita inginkan, yaitu bahwa ketahanan nasional kita tetap dapat tegak dan kukuh, tidak tergoyahkan dengan proses pengembangan penerbangan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 12 tahun 2016, Indonesia telah sepakat untuk terlibat dalam kebijakan ASEAN Open Sky Policy.

Kebijakan ini merupakan perjanjian multilateral dari sepuluh negara anggota ASEAN untuk menyatukan langit mereka dalam satu pasar penerbangan tunggal. Artinya, liberalisasi penerbangan untuk tingkat dan wilayah yang besar.

Namun, prinsip-prinsip cabotage tetap dipertahankan, dan pembukaan bandara untuk penerbangan internasional perlu dibatasi dengan melalui berbagai pertimbangan.

Berkaitan dengan ketahanan nasional, dapat dijelaskan bahwa dengan semakin terbukanya beberapa bandara maka akan ada dampak ikutan yang terjadi.

Selain sisi positif peningkatan arus kunjungan wisata dan lain-lain, kita dihadapkan pada berbagai tindak kriminal seperti peredaran narkotika, human trafficking, terorisme dan lain-lain.

Belum lagi pengaruh asing yang dapat mengakibatkan tergerusnya budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat serta kemungkinan paham politik yang berbeda dengan NKRI.

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Dengan semakin dibukanya bandara-bandara baru untuk penerbangan internasional, maka arus barang dan manusia antar-negara akan semakin tinggi.

Pengawasan yang dilakukan tidak akan cukup efektif jika semakin banyak bandara yang menjadi tujuan langsung penerbangan internasional.

3. IAAW sebagai pemerhati Penerbangan, menyarankan Indonesia Cukup memiliki Beberapa Bandara sebagai “ASEAN Open Sky Policy = Langit Terbuka”

Dalam hemat penulis, untuk negara kepulauan seperti Indonesia maka cukup hanya beberapa bandara besar (5 bila dianggap cukup) yang menjadi Bandara Internasional.

Di samping untuk meningkatkan pengawasan, juga untuk mendorong maskapai penerbangan domestik menjadi operator utama di negeri sendiri.

Selain isu ketahanan nasional, hal lain yang perlu diwaspadai dari kebijakan langit terbuka ini adalah keselamatan penerbangan itu sendiri. Jika penerbangan internasional akan diberlakukan untuk bandara-bandara seperti Labuan-Bajo, Banyuwangi, Silangit dan lain-lain maka harus dilihat kembali apakah bandara-bandara tersebut telah dilengkapi dengan fasilitas keselamatan yang sepadan dan mencukupi.

Dalam skenario terburuk kecelakaan pesawat jenis B 737 dengan penumpang 180 orang, maka di sekitar bandara tujuan harus memiliki fasilitas kesehatan yang dilengkapi dengan ruang ICU yang dapat menampung sejumlah penumpang yang membutuhkan.

Jika faktor fasilitas pendukung tidak dapat terpenuhi, maka bandara-bandara yang digadang-gadang sebagai bandara internasional baru ini bisa berpotensi memunculkan catatan buruk terhadap bandara di Indonesia.

Sebagai penutup, pengembangan penerbangan sipil Indonesia untuk mendukung pembangunan nasional dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang disegani sangat tepat.

Namun hal tersebut harus dikaji secara cermat mengenai dampak untung dan ruginya seperti yang disampaikan diatas terkait dengan Ketahanan Nasional.