Indonesiannews.co / Jakarta, 2 Desember 2019. Flight Information Region ( FIR) atau wilayah udara yang menyediakan layanan informasi penerbangan, menjadi satu hal yang sangat penting pada setiap negara yang memiliki ruang udara di atas negaranya. Dengan menguasai ruang udara untuk melindungi kedaulatan, keamanan dan keselamatan serta martabat bangsa dan negara. Pengelola FIR memiliki keuntungan berupa akses informasi lalu lintas penerbangan, keamanan negara dan tidak kalah penting sebagai pemasukan keuangan bagi negara (PNBP). Saat ini Indonesia memiliki dua FIR yaitu FIR Makassar yang mengelola wilayah Indonesia Bagian Timur dan FIR Jakarta yang mengelola Indonesia Bagian Barat dengan total panjang mencapai 8.541 km. Dan Indonesia juga diminta untuk mengelola wilayah udara negara lain, yaitu Timor Leste dan Chrismast Island (Australia). Berbeda dengan “Wilayah Titipan” yang tidak signifikan secara ekonomi, wilayah udara strategis Indonesia justru berada di bawah pengelolaan FIR Singapura. Sejak tahun 1946 sebagian FIR wilayah Barat Indonesia berada di bawah pengelolaan FIR Singapura sekitar 100 nautical miles (1.825 kilometer) wilayah udara Indonesia yang melingkupi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna. Kondisi ini membuat pesawat Indonesia harus melapor ke otoritas Singapura jika ingin melewati wilayah tersebut. Awal mula pengelolaan FIR Singapura, pada tahun 1946 ketika International Civil Aviation Organization (ICAO) menyatakan bahwa Indonesia belum mampu mengatur lalu lintas udara di wilayah yang disebut sektor A, B,dan C. Pernyataan ini cukup beralasan mengingat pada saat itu Indonesia sedang merintis penerbangan dengan kondisi fasilitas peralatan maupun tenaga lalu lintas udara yang sangat minim saat itu. Sehingga, pengelolaan FIR diserahkan kepada Singapura. Namun, saat ini kondisi telah berubah. Indonesia telah memiliki peralatan dan personil pengatur lalu lintas udara yang memadai, sehingga sudah saatnya Indonesia yang telah mampu untuk dapat mengelola FIR secara penuh.FIR Singapore; Whoever Controls of the Air, Generally Control the SURFACE..
Singapura telah mengelola FIR selama 74 tahun tanpa ada peninjauan kembali tentang peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan FIR tersebut. Merugikan Indonesia
Selama ini Indonesia mendapatkan pemasukan dari FIR Singapura sekitar 5 juta dollar AS per tahun yang bersumber dari sektor A , sementara untuk sektor B dan sektor C masih perlu dipertanyakan. Melihat luasnya sektor A, B dan C serta jumlah trafik yang melewati daerah tersebut, seharusnya pendapatan Indonesia jauh lebih besar dari angka yang tertera di atas. Selain pemasukan keuangan, kerugian lain adalah penerbangan jarak jauh maskapai Indonesia yang melewati FIR tersebut sering diberi ketinggian jelajah yang tidak ekonomis. Sehingga hal ini mengakibatkan biaya tinggi bagi maskapai yang bersangkutan. Hal lain misalnya, penerbangan domestik maskapai Indonesia untuk rute terbang; dari Batam ke Jakarta harus mendapatkan clearance dari Negara Singapura.
Termasuk pesawat-pesawat TNI RI, yang mempunyai “Misi Khusus” harus mendapatkan clearance dari pemerintah Singapura bila akan melewati wilayah Batam, Pangkal Pinang, Kepri, Kepulauan Natuna yang dikelola oleh FIR Singapura. Situasi tersebut tidak menguntungkan bagi strategi Pertahanan NKRI. Demikian juga persoalan yang terjadi dalam kegiatan Military Training Area (MTA) antara Singapura dan Indonesia. Menurut penulis, hal ini sangat krusial untuk dapat segera diselesaikan melalui kesepakatan baru. FIR Harus Segera Dikelola Sendiri
Seiring dengan perkembangan kemampuan teknologi, khususnya perhubungan udara, maka sudah sewajarnya jika pemerintah Indonesia mendorong pengelolaan wilayah udara sendiri oleh otoritas udara dalam negeri. Bahkan Undang-undang no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan telah mengamanatkan bahwa pengelolaan FIR tersebut harus dapat dikelola oleh pihak perhubungan udara Indonesia selambat-lambatnya 15 tahun sejak undang-undang tersebut disahkan atau tepatnya pada tahun 2024. Saat ini pemerintah masih dalam proses negosiasi pembahasan ulang FIR Singapura. Hal yang oleh beberapa media sering disalah pahami dengan menyebutkan “merebut FIR Singapura” padahal skema yang diajukan adalah mengambil kembali wilayah udara Indonesia yang kita rasa telah mampu kita kelola. Wilayah ini berada pada sektor A, B dan C atau tepatnya berada di wilayah udara Batam dan Kepulauan Natuna. Dengan Malaysia
Secara lebih khusus dalam pembahasan re-alignment pada sektor B dan C memerlukan keterlibatan pemerintah Malaysia yang selama ini memerlukan pengelolaan FIR untuk menghubungkan wilayah Malaysia Barat dengan Timur yaitu Sabah dan Serawak melalui wilayah udara kepulauan Natuna dan Matak. Untuk pembahasan antara pemerintah Indonesia, Singapura, dan Malaysia diperlukan suatu perundingan yang saling menguntungkan ketiga belah pihak dengan prinsip bahwa penghormatan pada kedaulatan masing-masing negara harus diutamakan. Kesepakatan antarnegara ini juga harus diimplementasikan dalam hal teknis operasional. Idealnya perundingan dan persiapan teknis ini dapat diselesaikan pada akhir tahun 2020. Dengan catatan bahwa masa transisi pengambil alihan FIR dapat dimulai pada awal 2020 hingga setahun kemudian. Dengan hasil perundingan ini maka secara otomatis negara-negara yang melewati wilayah tersebut harus mengikuti kesepakatan yang telah dihasilkan. Indonesia Sudah Mempunyai Kemampuan Cukup
Sementara dari sisi perangkat keras dan perangkat lunak yang dimiliki, pihak perhubungan udara sudah memiliki kemampuan yang cukup. Hal ini dapat dibuktikan yaitu dengan kemampuan yang sangat baik pengaturan lalu lintas udara di FIR Jakarta, serta area Jakarta, jumlah trafiknya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan FIR Singapura sektor A, B, C tersebut. Sehingga dapat memberikan gambaran bahwa dari sisi teknis operasional, kemampuan yang kita miliki tidak dapat diragukan lagi. Untuk sumber daya manusia, kita dituntut untuk terus melakukan upaya perbaikan. Misalnya untuk mendukung re-alignment ini dibutuhkan senior Air Traffic Controller (ATC) dari berbagai bandara. Penempatan ATC terbaik mutlak diperlukan agar semangat re-alignment ini juga diimbangi dengan kemampuan kita mengatur lalu lintas udara internasional yang padat. Menurut penulis, peningkatan dan penambahan sumber daya manusia dalam jumlah yang besar harus dilaksanakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Indonesia berada dalam posisi “point of no return” karena rencana re-alignment FIR telah disampaikan oleh presiden. Semua jajaran harus memiliki strategi yang tepat untuk mengimplementasikan arahan presiden, dengan visi yang satu arah dan satu tujuan serta satu gerak langkah bersama. Sehingga, tidak perlu ada lagi perdebatan mana yang harus didahulukan antara masalah kedaulatan atau masalah keselamatan penerbangan (safety) dalam pembahasan FIR Singapura – Indonesia. Ini karena keduanya harus dilaksanakan secara bersamaan, dan hal ini mutlak harus segera dapat diwujudkan karena menyangkut Kedaulatan di udara NKRI dan martabat bangsa. Selain masalah re-alignment, yang harus segera juga diwujudkan jika Indonesia ingin disegani dalam menjaga kedaulatan udaranya adalah dengan menggelar peralatan untuk terwujudnya Air Defense Identification Zone (ADIZ) untuk wilayah NKRI dan segera menginisiasi pembahasan Undang-undang Kedaulatan Udara NKRI. Indonesia Aviation and Aerospace Watch (IAAW) telah memulai dengan menyusun naskah akademis tentang Undang-undang Kedaulatan Udara yang telah diserahkan kepada DPR RI periode 2014 – 2019 lalu. Jika kedua langkah strategis ini dapat dijalankan, maka kita dapat berharap bahwa Indonesia akan menjadi negara yang tangguh dalam mengelola dan menegakkan kedaulatan wilayah udaranya. Baca juga :
Perlu Peninjauan Lebih Komprehensif atas Pembangunan Bandar Udara Baru