Indonesiannews.co – Solo-Masih mengakarnya budaya patriarki di tengah masyarakat sampai saat ini, membuat peran perempuan masih terbatasi dalam mengambil peran di ranah publik dan masih terbelenggu di ranah domestik. Hal ini membuat permasalahan terhadap perempuan seperti pelecehan seksual, kekerasan, pelanggaran hak perempuan, akses terhadap pendidikan masih kerap terjadi.

Retno Sudewi, Kepala Dinas Pemberdayaa Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Jawa Tengah yang menjadi salah satu narasumber pada Training Pencegahan Ekstremisme  Kekerasan dan Literasi Hukum Kelompok Kerja Desa Damai Wilayah Jawa Tengah dengan tajuk “Memperkuat kapasitas Pokja tentang Pencegahan Intoleransi dan Ekstremisme Kekerasan, Hak – hak Perempuan, dan Mekanisme Perlindungan Berbasis Komunitas” yang digelar Wahid Foundation pada Sabtu malam, (13/03), menyatakan bahwa banyak sekali permasalahan yang terjadi terhadap perempuan yang harus diatasi.

Oleh karena itu, menurutnya  peran pemerintah daerah sangatlah krusial dalam pencegahan dan penanganan permasalahan yang terjadi terhadap perempuan. Dalam hal ini, menurut Retno, Pemda mempunyai beberapa program  yang bersifat gender equality yang fokus memberdayakan perempuan seperti Pemberdayaan dan Peningkatan Produktivitas Ekonomi Perempuan dan peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Program tersebut menyasar target kelompok perempuan rentan yang hidup dalam kondisi rendah ekonomi, konflik, bencana, dan tak ada akses terhadap pendidikan sehingga lebih rentan mendapatkan kekerasan. Hal ini sejalan dengan program Desa Damai yang mengedepankan mekanisme komunitas yang responsif gender untuk mempromosikan komunitas yang damai dan berkeadilan gender sehingga diharapkan bisa meminimalisir terjadinya pelanggaran terhapap hak-hak perempuan dan menjadikan budaya bermasyarakat yang inklusif dan setara.

Kemudian, selain permasalahan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak perempuan, pelanggaran dan kekerasan pula kerap terjadi terhadap anak. “Biasanya…,” terang Retno, “problem tersebut kerap terjadi pada mereka yang memutuskan untuk menikah dini,”.

Oleh sebab itu, ia sangat mengapreasi pembatasan usia pernikahan, yakni 19 tahun untuk perempuan maupun laki-laki. Meskipun demikian, Dinas Perempuan dan Anak Jawa Tengah sesuai dengan salah satu program yang diinisiasinya untuk  menekan dan mencegah terjadinya pernikahan dini, yakni Jo Nikah Bocah, menyarankan menikah minimal pada usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki karena pertimbangan kematangan usia reproduksi dan mental.

Untuk itu, Retno mendorong kepada seluruh peserta training yang terdiri dari beberapa kelompok kerja dari desa/kelurahan Desa Damai untuk lebih mengedepankan impelementasi program yang setara dan berkeadilan gender di desa masing-masing. Sebab, Retno menegaskan bahwa peran Pemda tidaklah cukup untuk mengatasi persoalan tersebut. Baginya, pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tugas bersama.

“Penanganan terhadap kasus kekerasan anak dan perempuan tidak hanya tugas pemerintah, tapi tugas bersama.” Tegasnya menutup sesi hari kedua training tersebut.