Indonesiannews.co – Sidang lanjutan DR. Anton Permana dalam perkara dugaan hoax dan ujaran kebencian kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pagi, 3 Mei 2021.

Agenda sidang pagi tadi adalah melanjutkan keterangan pelapor /saksi fakta Sdr. Guntur Romli. Dalam hal ini Guntur hadir bukan atas nama partai melainkan dari organisasi cyber Indonesia.

Dalam pemberitaan Minggu lalu saksi fakta menyebut bahwa apa yang ia sampaikan mengenai penilaian tulisan terdakwa adalah merupakan pendapat peribadi saksi fakta. Saksi juga jelaskan bahwa ia membaca postingan Anton Permana bukan dari akun pribadi Anton, melainkan dari screenshot postingan yang ia dapat dari orang lain, yang kemudian tulisan terdakwa ini yang dijadikan dasar laporan bahwa terdakwa dianggap melakukan hoax, menyebarkan berita kebencian.

Dalam sidang pagi ini pihak Penasehat Hukum terdakwa lakukan pendalaman dengan meminta keterangan saksi fakta, atas laporan saksi yang menyebut bahwa tulisan terdakwa hoax dan menyebarkan kebencian.

“Apakah saksi mengerti maksud yang ditulis terdakwa,” tanya penasehat hukum kepada saksi, yang kemudian dijawab saksi “tidak tahu.”

“Pertanyaan selanjutnya, apakah saksi tahu bahwa tulisan terdakwa yang anda laporkan adalah suatu kajian?”, tidak tahu Pak, jawab saksi.

Dalam persidangan PH sampaikan protes bahwa apa yang disampaikan para saksi adalah pendapatnya sendiri, dan itu tak bisa diterima sebagai saksi, sebab keterangannya berdasarkan pendapat pribadi saksi.

Selanjutnya dalam keterangan Pers seusai sidang, Penasehat Hukum terdakwa sampaikan bahwa apa yg ditulis oleh terdakwa adalah merupakan kajian terdakwa soal Pertahanan dan Keamanan Indonesia. Kajian yang dilakukan terdakwa merupakan kewajibannya sebagai alumnus Lemhanas dalam melihat perkembangan pertahanan nasional.

“Terdakwa dididik oleh Lemhanas untuk dapat membuat kajian terkait pertahanan nasional, dalam kajiannya terdakwa menemukan adanya pergeseran fungsi pertahanan dengan lembaga keamanan diberbagai aspek antara lain terkait persenjataan, teritorial, anggaran dan penanganan teroris,” ucap Syamsiar kuasa hukum Anton Permana.

Jadi apa yang ditulis terdakwa yang kemudian tulisannya dilaporkan sebagai berita hoax dan mencemarkan kebencian itu tidak beralasan, karena yang ditulis terdakwa adalah kajian, bahkan dalam kajian itu banyak pernyataannya yang sumbernya dari pejabat tinggi negara, dan buktinya bisa dilihat dari banyak media, seperti misal pernyataan salah satu pejabat negara yang menyebut senjata organik TNI kalah canggih dengan Polri, ada peran TNI yang tergeser Polri, dll.

Dari pantauan, terdakwa membawa 2 koper berisi dokumen dan referensi dari Lemhanas terkait kajiannya.

“Bahwa terdakwa ini adalah Alumnus LEMHANAS (Lembaga Pertahanan Naional), mantan Ketua FKPPI suatu organisasi Keluarga Besar TNI/Polri di Kota Batam, Konsultan rekanan Kementerian Pertahanan (Menhan), peneliti militer, serta sebagai anggota aktif dari Tanhana dharma mangrava Intitute sebuah organisasi dari para alumnus LEMHANAS resmi yang focus dibidang Pertahanan Nasional, yang didirikan oleh Jend (purn) Alm. Djoko Santoso,” terang Syamsiar.

Kemudian terkait kajian terdakwa yang sedang disidangkan adalah merupakan kajian / penelitian terdakwa yang diambil dari banyak sumber, diantara 80% dari Kodiklat TNI (Komando Pendidikan dan Latihan), dll. Kajian ini boleh dikonsumsi oleh siapapun, bahkan kajian ini telah dimanfaatkan oleh beberapa lembaga, sebab isi kajian mengandung hal-hal yang berisi nilai positif dan solutif.

“Soal singkatan NKRI dengan kepanjangan Negara Kepolisian Republik Indonesia, terdakwa mengutip dari Media Tempo, dan hal ini pun telah banyak diucapkan oleh para tokoh dan pengamat, salah satu contohnya pernah disampaikan oleh Prof.Salim Said, artinya terdakwa ucapkan plesetan NKRI setelah media Tempo dan para tokoh,” tutup Advokad Senior.

Dalam sidang perkara ini, Anton Permana dijerat Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU ITE serta Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 serta Pasal 15 UU Peraturan Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 207 KUHP, dengan ancaman10 tahun.