Opini
Paulus Laratmase
Akhir Juli 2021.

Toraja – Tulisan ini merupakan sharing saya atas pengalaman spiritual menghadiri upacara penguburan dari seorang anak adat atau tokoh budaya yang refleksi-refleksinya atas budaya Tana Toraja sangat mendalam.

Kita baru saja kehilangan anak adat Tana Toraja yang begitu besar cintanya untuk melestarikan budaya Toraja semasa hidupnya, Paulus Pasang Kanan.
Ritual penguburan yang dikemas dalam adat budaya Tana Toraja sepanjang 7 hari berturut-turut dari tanggal 10 Juli 2021 sampai 17 Juli 2021 menjadi ritual budaya yang unik sekaligus menjadi pengalaman yang menarik dalam hidup saya.

Betapa kaya ternyata kazanah budaya di tanah air tercinta Indonesia.
Paulus Pasang Kanan, Budayawan Tana Toraja itu hari ini telah terbang tinggi di keabadian. Merpati tua begitu ia selalu menyebut dirinya di masa tuanya itu kini telah menuntaskan hidupnya di dunia secara paripurna. Ia telah mewariskan sebuah kecintaan pada budaya yang telah membesarkan hidupnya selama ini.

Bersama istrinya Fransisca Sampe Ronting, ia memang suka menganalogikan diri mereka sebagai “Sepasang Merpati Tua”. Analogi ini menjadi refleksi filosofis kehidupan mereka dengan segala pergumulannya dalam mendidik anak-anaknya, dalam hidup menggereja, dalam hidup sosial masyarakat, termasuk dalam merawat budaya tanah kelahirannya Toraja. Semua dilakukan dengan ketulusan hati seperti merpati.

Dalam terbangnya, saya yakin ia akan tetap menjaga agar budaya Toraja yang dicintainya itu tetap lestari. Sebuah warisan yang tak ternilai harganya dimana arus modernisasi berusaha menggerus peradaban masyarakatnya. Semasa hidupnya ia suka sekali bercerita mengenai kekayaan adat Tana Toraja, khususnya Rambu Solo.

Nah, tulisan ini mengupas secara singkat bagaimana Paulus Pasang Kanan berusaha melestarikan budaya Toraja dan upacara Rambu Solo, khususnya sampai akhir dirinya sendiri menjadi tokoh sentral dari acara ritual Rambu Solo yang digelar pada tanggal 10 – 17 Juli 2021 lalu.

Bagi Paulus Pasang Kanan dan Fransiska Sampe Ronting Tana Toraja adalah wilayah yang kaya akan budaya-budaya aslinya. Salah satunya adalah upacara Rambu Solo’ yang merupakan salah satu ciri khas kebudayaan Tana Toraja yang tidak dimiliki oleh berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, bahkan di dunia.

Keunikan budaya ini sudah mendunia. Bahkan Rambu Solo itu sendiri adalah budaya penghormatan bagi seseorang yang telah meninggal dan hendak dikubur, setelah sekian hari diawetkan dengan ramuan tradisional atau dengan formalin untuk sekian lama dan kemudian harus dipestakan atau Rambu Solo’ oleh keluarganya.

Ada tahapan-tahapan berserta aturan yang ketat (pemali) yang harus dipatuhi oleh keluarga dalam melaksanakan ritual Rambu Solo ini. Jadi tidak sembarang menggelar upacara sakral ini.

Paulus Pasang Kanan benar-benar menyatu dengan budaya Tana Toraja ketika dirinya di Rambu Solo kan secara khidmat dan sakral oleh keluarga dan masyarakat di tengah-tengah arus modern jaman ini.

Saya bersyukur bisa melebur ke dalam penghayatan peradaban unik di jaman serba modern ini. Sayapun dibuat terkagum-kagum pada semua tahapan Rambu Solo yang lengkap dengan suasana magis tapi penuh sukacita, malahan jauh dari suasana dukacita. Semua warga dari golongan manapun bersukacita dalam perayaan ini. Semua lebur dalam kecintaan adat yang sama.

“Ini benar-benar sebuah upacara penguburan yang menakjubkan. Selama ini saya sendiri hanya mendengar dan membaca lewat sharing dan tulisan orang lain. Baru kali ini dengan mata kepala sendiri saya mengalami peristiwa magis ini seumur hidup saya. Sungguh sebuah perayaan sukacita yang bernama Rambu Solo.”

Perayaan berlangsung selama 7 hari, tidak seperti upacara Rambu Solo pada umumnya. Ini menunjukkan penghormatan yang luar biasa dari orang-orang yang ditinggalkan. Kepergian Paulus Pasang Kanan adalah kehilangan bagi dunia budaya Tana Toraja. Tak heran jika keluarga dan masyarakat menggelar ritual itu selama 7 hari berturut-turut.

Semoga Rambu Solo Paulus Pasang Kanan menjadi legacy bagi anak-anak generasi jaman yang serba modern ini.